TEORI KONSELING REALITA
A.
PRINSIP
DASAR
Pendekatan ini dikembangkan oleh
seorang Psikiater yang bernama William Glasser pada tahun 1950 an di Amerika
Serikat. Pendekatan ini disebut juga Reality Therapy. Dalam mengembangkan
terapi ia ia mendasarkan pada pengalamannya yang merasa tidak puas atas praktek
psikiatri yang ada saat itu, bahkan ia mempertanyakan dasar-dasar pikiran teori
psikiatri yang berorientasi ke pandangan Freudian.
Pelaksanaan konseling dengan pendekatan terapi
atau konseling realita mendasarkan beberapa asumsi tentang manusia, yaitu :
1. Perilaku
manusia merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar fisologis dan
psikologis, terutama kebutuhan psikologis, cinta dan harga diri sebagai
kesatuan.
2. Bilamana
individu mampu memenuhi kebutuhan, membentuk identitas berhasil pada individu,
dan sebaliknya bila gagal memenuhi kebutuhan menjadi frustasi membentuk
identitas gagal.
3. Individu
manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri yaitu mengubah
identitas gagal jadi identitas berhasil.
4. Tanggung
jawab merupakan faktor yang penting untuk berusaha memenuhi kebutuhan,
memperoleh kepuasan dan mencapai keberhasilan.
5. Penilaian
orang lain terhadap diri manusia merupakan faktor penting untuk menentukan
bahwa dirinya termasuk dalam kategori identitas berhasil atau identitas gagal.
Maka jelaslah
bahwa terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang
manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang
menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang
memikul tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah
lakunya sendiri. Tampaknya orang menjadi apa yang ditetapkannya.
B.
KONSEP
DASAR
Pendekatan ini dikembangkan oleh
seorang Psikiater yang bernama William Glasser pada tahun 1950 an di Amerika
Serikat. Pendekatan ini disebut juga Reality Therapy. Dalam mengembangkan
terapi ia ia mendasarkan pada pengalamannya yang merasa tidak puas atas praktek
psikiatri yang ada saat itu, bahkan ia mempertanyakan dasar-dasar pikiran teori
psikiatri yang berorientasi ke pandangan Freudian.
Ide dasar pengembangan pendekatan
Konseling Realita yang berorientasi pada cognitive behavioral ini adalah
sebagai berikut :
a. Manusia
memiliki kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan psikologis disebut
dengan kebutuhan identitas yang meliputi kebutuhan akan merasa adanya keunikan,
perbedaan, dan kemandirian sebagai kebutuhan yang bersifat universal.
Glasser
menyebutkan adanya dua identitas yang berlawanan yaitu identitas berhasil dan
identitas gagal.
b. Manusia
memiliki kekuatan untuk tumbuh atau sehat yang mendorong menuju ke identitas
sukses/ berhasil.
c. Dalam
merumuskan identitas, orang lain mempunyai peranan penting dalam membantu
individu melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berhasil / gagal.
d. Kekuatan
tumbuh pada manusia bukan pembawaan, melainkan sebagai bentuk tingkah laku yang
dipelajari / belajar.
e. Konselor
memandang manusia atas dasar tingkah laku yang didasarkan pada pengukuran
objektif yang disebut realita.
f. Konseling
memandang tingkah laku manusia tidak terikat pada filsafat deterministik, namun
mendasarkan pada asumsi bahwa akhirnya manusia mengarahkan diri sendiri.
g. Ada
tiga landasan untuk tumbuh dalam rangka memuaskan kebutuhan identitas diri
yaitu :
1.
Right: adalah
kebenaran dan tingkah laku seseorang dengan standar norma yang berlaku baik itu
norma agama, hukum, dan lain-lain.
2.
Reality: adalah
kenyataan, yaltu individu bertingkah laku sesuai dengan kenyataan yang ada.
3.
Responsibility: adalah
bertanggung jawab, yaitu tingkah laku dalam memenuhi kebutuhan dengan
menggunakan cara yang tidak merugikan orang lain.
C.
TUJUAN
KONSELING
Konseling Realita bertujuan membantu
individu untuk mencapai otonomi, dengan identitas berhasil sebagai tujuan
khususnya. Konselor dalam prosedur konseling berusaha membantu klien menemukan
pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan Right, Responsibility dan Reality. Dalam
hal ini Klien belajar ketrampilan umum, ketrampilan kognitif/ intelektual, dan
ketrampilan menghadapi masalah kehidupannya.
Pengalaman
klien yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu adalah pengalaman memusatkan
pada tingkah laku, membuat rencana, mengevaluasi tingkah laku sendiri, belajar
kecanduan positif (positive addiction) sebagai puncak pengalaman.
Tujuan umum konseling realita dan
sudut pandang konselor menurut Burks (1979) menekankan bahwa konseling realita
merupakan bentuk mengajar dan latihan individual secara khusus. Secara luas,
konseling ini membantu konseli dalam mengembangkan sistem atau cara hidup yang
kaya akan keberhasilan.
1. Menolong
individu agar mampu mengurus dirinya sendiri, supaya dapat menentukan dan
melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong
konseli agar berani bertanggung jawab
serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya
dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan
rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
4. Perilaku
yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang
dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk
mengubahnya sendiri.
5. Terapi
ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D. HUBUNGAN KONSELOR DAN KLIEN
1. Konselor
Tugas utama konselor adalah menjadi
terlibat dengan konselinya dan kemudian menghadapi konseli dengan mengusahakan agar konseli mengambil
keputusan. Konselor bertuas melayani sebagai pembimbing untuk membantu konseli
menaksir tingkahlaku mereka secara realistis. Konselor diharapkan memberi
hadiah bila konseli berbuat dalam cara yang bertanggungjawab dan tidak menerima
setiap penghindaran atas kenyataan atau tidak mengarahkan konseli menyalahkan
setiap hal atau setiap orang. Beberapa kualitas pribadi yang harus dimiliki
konselor adalah kemampuan untuk sensitif, untuk mencapai kebutuhan mereka
secara terbuka, tidak untuk menerima ampunan, menunjukkan dukungan yang terus
menerus dalam membantu konseli, untuk memahami dan mengempati konseli, dan
untuk terlibat dengan tulus hati.
2. Konseli
Dalam konseling realita, pengalaman yang perlu dimiliki oleh konseli adalah
peran konseli memusatkan pada tingkah laku dalam proses konseling (konseli
diharapkan memusatkan pada tingkah laku mereka sebagai ganti dari perasaan dan
sikap-sikapnya), konseli membuat dan menyepakati rencana (ketika konseli
memutuskn untuk bagaimana mereka ingin berubah, mereka diharapkan untuk
mengembangkan rencana khusus untuk mengubah tingkah laku gagal ke tingkahlaku
berhasil), konseli mengevaluasi tingkah lakunya sendiri, dan konseli belajar
kecanduan positif (dalam hal ini Glasser mengungkapkan pentingnya belajar tanpa
kritik dari orang lain dalam setiap usaha kita.
3. Situasi
Hubungan
Konseling realita didasarkan pada
hubungan pribadi dan keterlibatan antara konseli dan konselor. Konselor dengan
kehangatan, pengertian, penerimaan dan kepercayaan pda kapasitas orang untuk
mengembangkan identitas berhasil, harus mengkomunikasikan dirinya kepada
konseli bahwa dirinya membantu. Melalui keterlibatan ini, konseli belajar
mengenai hidup daripada memusatkan pada mengungkap kegagalan dan tingkah laku
yang tidak bertanggungjawab. Kunci konseling realita adanya
kesepakatan/komitmen dalam membuat rencana dan melaksanakannya. Perencanaan
yang telah dilakukan oleh konseli dinilai positif jika ditulis dalam
kontrak. Dalam konseling realita ditekankan tidak adanya ampunan/ no
excuses ketika konseli tidak melaksanakan rencananya.
E. PROSES KONSELING
Prosedur konseling realita mencakup empat tahap,
yaitu keterlibatan, anda adalah tingkah laku, belajar kembali dan evaluasi
1. Keterlibatan (Involvement)
Keterlibatan
klien dalam suasana konseling dengan konselor untuk mencapai fungsi kebebasan,
tanggung jawab dan kemandirian (otonomi). Sehingga keterlibatan disini dapat
dimaknai sebagai empati dalam proses konseling.
2. Anda adalah Tingkah laku
( You are Behaviour)
Konseling
harus berpusat pada tingkah laku (bukan pada perasaan), dan berpusat pada saat
sekarang. Hal ini berarti bahwa dalam proses konseling realita harus memusatkan
perhatian pada tingkah laku klien pada saat ini dengan menekankan pada kekuatan
/ kemampuan klien, bukan pada kelemahan atau kekurangannya.
3. Belajar Kembali (Re
Learning)
Melihat
tingkah laku klien yang terakhir yang tidak realistis, menolak tingkah laku
tidak bertanggung jawab. Konselor kemudian mengajari klien cara-cara yang lebih
baik dalam memenuhi kebutuhan di dalam kehidupan nyata. Dalam prosedur ini
melaksanakan prinsip pertimbangan nilai, perencanaan tingkah laku yang
bertanggung jawab dan kesepakatan.
4. Evaluasi
Mengevaluasi
pelaksanaan kesepakatan yang dicapai pada tahap ketiga dalam bentuk kontrak
(tertulis) dengan prinsip tiada ampunan dan pembatasan hukuman, merencanakan
lagi tindakan lebih lanjut sebagai komitmen baru.
F. TEKNIK KONSELING
Pelaksanaan Konseling realita,
menurut Corey (1982) ada beberapa teknik yang dapat dilaksanakan yaitu :
1.
Melakukan main peran dengan klien.
2.
Menggunakan humor
3.
Mengkonfrontasi klien dengan tidak memberikan ampunan /
tidak menerima dalih.
4.
Membantu klien merumuskan rencana perubahan.
5.
Melayani klien sebagai model peranan dan guru.
6.
Menentukan batas-batas dan struktur konseling yang
tepat dan jelas.
7.
Menggunakan verbal shock atau sarkasme yang tepat untuk
menentang klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
8.
Terlibat dengan klien dalam mencari hidup yang lebih
efektif.
Teori konseling realita memiliki beberapa teknik
tersendiri yaitu:
1.
Metapor
Konselor
menggunakan taknik ini seperti senyuman, imej, analogi, dan anekdot untuk
memberi konseli suatu pesan penting dalam ccara yang efekitif. Konselor juga
mendengarkan dan menggunakan metapor yang ditampilkan diri konseli
2.
Hubungan
Menggunakan hubungan sebagai bagian
yang asensial dalam proses terapoutik. Hubungan ini harus memperlihatkan upaya
menuju perubahan, menyenagkan, positif, tidak menilai, dan mendorong kesadaran
konseli.
3.
Pertanyaan
Konselor menekankan evaluasi dalam
perilaku total, asesmen harus berasal dari konseli sendiri. Konselor tidak
mengatakan apa yang harus dilakukan koseli, tetapi menggunakan pertanyaan yang
terstruktur dengan baik untuk membantu konseli menilai hidupnya dan kemudian
merumuskan perilaku-perilaku yang perlu dan tidak perlu di ubah.
4.
WDEP & SAMI2C3
Merupakan
akronim dari wants (keinginan), direction (arahan), evaluasi
(penilaian), dan planing (rencana). Teknik ini digunakan untuk membantu konseli
menilai keinginan-keinginannya. Perilaku-perilakunya, dan kemudian merumuskan
rencana-rencana.
Ada dua strategi konseling realitas, yaitu membangun
relasi atau lingkungan konseling dari prosedur WDEP , yaitu :
a.
Want
(keinginan) : langkah mengeksplorasi keinginan yang sebenarnya dari
klien ingat pada umumnya manusia membicarakan hal-hal yang tidak diinginkan.
Konselor memberikan kesempatan kepada klien untuk rnengeksplorasi tentang
keinginan yang sebenarnya dan dengan bertanya (mengajukan pertanyaan)
bidang-bidang khusus yang relevan dengan problem atau konfliknya : misalnya
teman, pasangan, pekerjaan, karir, kehidupan spiritual, hubungan dengan atasan
dan bawahan, dan tentang komitmennya untuk memenuhi keinginan itu.
b.
Doing and Direction(melakukan dengan terarah)
: langkah dimana klien dlharapkan mendeskripsikan perilaku secara
menyeluruh berkenaan dengan 4 komponen perilaku, pikiran, tindakan, perasaan
dan fisiologi yang terkait dengan hal yang bersifat umum dan hal bersifat
khusus. Konselor memberi pertanyaan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan,
dilakukan. dan keadaan fisik yang dialarni untuk memahami perilaku klien secara
menyeluruh dan kesadarannya terhadap perilakunya itu.
c.
Evaluation
(Evaluasi): evaluasi diri klien merupakan inti terapi realitas.
Klien di dorong untuk melakukan evaluasi terhadap perilaku yang telah dilakukan
terkait dengan efektifitasnya dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan membantu
atau bahkan menyulitkan, ketepatan dan kemampuannya, arah dan keterarahannya,
persepsinya, dan komitmennya dalam memenuhi keinginan serta pengaruh terhadap
dirinya. Pertanyaan tentang hal- hal yang bersifat evaluasi “diri” disampaikan
dengan empatik, kepedulian, dan penuh perhatian positif.
d.
Planning
(rencana) klien membuat rencana tindakan sebagai perilaku total dengan
bantuan konselor. Dalam membantu klien membuat rencana tindakan, konselor
mendasarkan pada kriteria tentang rencana yang efektif, yaitu :
1)
dirumuskan oleh klien sendiri,
2)
realistis atau dapat dicapai,
3)
ditindak lanjuti dengan segera,berada di bawah kontrol
klien, tidak bergantung pada orang lain tindakan bertanggung jawab.
SAMI2C3 mempersentasikan elemen-elemen yang
memaksimalkan keberhasilanya keberhasilan rencana : mudah/ sederhana (simple),
dapat dicapai (attainable), dapat diukur (measurable), segera (immedate),
melibatkan tindakan (involving), dapat dikontrol (controled), konsisten
(consistent), dan menekankan pada komitmen (committed)
5.
Renegosiasi
Konseli tidak selalu dapat
menjalankan rencana perilaku pilihanya. Jika ini terjadi, maka konselor mengajak
konseli untuk membuat rencana ulang dan menemukan pilihan perilaku lain yang
lebih mudah.
6.
Intervebsi paradoks
Terinspirasi oleh Frankl (pendiri
konselng Gestalt), Glasser menggunakan paradoks untuk mendorong konseli
menerima tanggung jawab bagi perilakunya sendiri. Intetrvensi paradoksikal ini
memiliki dua bentuk rerabel atau reframe dan paradoxical pressciption.
7.
Pengembangan ketrampilan
Konselor perlu membantu konseli
mengembangkan ketrampilan untuk memnuhi kebutuhan dan keinginan-keinginannya
dalam cara yang bertanggung jawab. Koselor dapat mengajar konseli tentang
berbagai ketrampilan seperti perilaku asertif, berfikir rasional, dan membuat
rencana.
8.
Adiksi positif
Menurut Glasser, merupakan teknik
yang digunakan untuk menurunkan barbagai bentuk perilaku negatif dengancara
memberikan kesiapan atau kekuatan mental, kreatifitas, energi dan keyakinan.
Contoh : mendorong olahraga yang teratur, menulis jurnal, bermain musik, yoga,
dan meditasi.
9.
Penggunakan kata kerja
Dimaksudkan untuk membantu jonseli
agar mampu mengendalikan hidup mereka sendiri dan membuat pilihan perilaku
total yang positif. Daripada mendeskripsikan koseli dengan kata-kata: marah,
depresi, fobia, atau cemas konselor perlu menggunakan kata memarahi,
mendepresikan, memfobiakan, atau mencemaskan. Ini mengimplikasikan bahwa
emosi-emosi tersebut bukan merupakan keadaan yang mati tetapi bentuk tindakan
yang dapat diubah.
10. Konsekuensi
natural
Konselor harus memiliki keyakinan
bvahwa konseli dapat bertanggung jawab dan karena itu dapat menerima konsekuensi
dari perilakunya. Koselor tidak perlu menerima permintaan maaf ketika konseli
membuat kesalahan, tetapi juga tidak memberikan sangsi. Alih-alih koselor lebih
memusatkan pada perilaku salah atau perilaku lain yang bisa membuat perbedaan
sehingga konseli tidak perlu mengalami kosekuensi negatif dari perilakunya yang
tidak bertanggung jawab.
G.
KECOCOKANNYA
UNTUK DITETAPKAN DI INDONESIA
Terapi
realitas tampaknya amat cocok bagi intervensi-intervensi singkat dalam
situasi-situasi konseling krisis dan bagi penanganan para remaja dan
orang-orang dewasa penghuni lembaga-lembaga untuk tingkah laku kriminal.
Keuntungan
yang diperoleh dari terapi realitas adalah jangka waktu terapinya yang relatif
pendek dan berurusan dengan masalah-masalah tingkah laku sadar. Klien
dihadapkan pada keharusan mengevaluasi tingkah lakunya sendiri dan membuat
pertimbangan nilai.Tapi kekurangan dari terapi realitas adalah ia tidak
memberikan penekanan yang cukup pada dinamika-dinamika tak sadar dan pada masa
lampau individu sebagai salah satu determinan dari tingkah lakunya sekarang.
Terapi realitas bisa menjadi satu tipe campur tangan yang dangkal karena ia
menggunakan kerangka yang terlampau sederhana bagi praktek terapi. Jadi hal ini
dapat menghalangi pertumbuhan dan otonomi klien dengan menjadi terlalu moralis
dan mempengaruhi klien untuk menerima pandangan terapis tentang kenyataan
alih-alih mencari-cari jawaban dari dirinya sendiri.
Teori
ini dikatakan cocok jika digunakan di Indonesia terlebih pada kota-kota besar
yang mempunyai tingkat kriminalitas tinggi. Kriminalitas tinggi banyak dipengaruhi
karena individu di masyarakat mempunyai pribadi yang tidak sehat sehingga
diwujudkan dalam identitas gagal, yaitu pribadi yang gagal memenuhi salah satu
atau semua kebutuhan dasar dan gagal terlibat dengan orang lain sebagai
prasyarat biologis memuaskan kebutuhan dasar. Misalnya keterasingan diri,
penolakan diri, irrasionalitas kuat, berperilaku kau, tidak objektif, lemah,
tidak bertanggungjawab, kurang percaya diri, dan menolak realitas kehidupan.
Ketika ndividu mendapatkan identitas gagal ini maka tingkat frustasi akan lebih
tinggi dipengaruhi pula dengan keadaan sosial di kota besar, sehingga mendorong
terjadinya kriminalitas.
No comments:
Post a Comment