Tuesday, May 28, 2013

Teori Konseling Realita



TEORI KONSELING REALITA

A.   PRINSIP DASAR
Pendekatan ini dikembangkan oleh seorang Psikiater yang bernama William Glasser pada tahun 1950 an di Amerika Serikat. Pendekatan ini disebut juga Reality Therapy. Dalam mengembangkan terapi ia ia mendasarkan pada pengalamannya yang merasa tidak puas atas praktek psikiatri yang ada saat itu, bahkan ia mempertanyakan dasar-dasar pikiran teori psikiatri yang berorientasi ke pandangan Freudian.
     Pelaksanaan konseling dengan pendekatan terapi atau konseling realita mendasarkan beberapa asumsi tentang manusia, yaitu :
1.      Perilaku manusia merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar fisologis dan psikologis, terutama kebutuhan psikologis, cinta dan harga diri sebagai kesatuan.
2.      Bilamana individu mampu memenuhi kebutuhan, membentuk identitas berhasil pada individu, dan sebaliknya bila gagal memenuhi kebutuhan menjadi frustasi membentuk identitas gagal.
3.      Individu manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri yaitu mengubah identitas gagal jadi identitas berhasil.
4.      Tanggung jawab merupakan faktor yang penting untuk berusaha memenuhi kebutuhan, memperoleh kepuasan dan mencapai keberhasilan.
5.      Penilaian orang lain terhadap diri manusia merupakan faktor penting untuk menentukan bahwa dirinya termasuk dalam kategori identitas berhasil atau identitas gagal.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memikul tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya orang menjadi apa yang ditetapkannya.
B.   KONSEP DASAR
Pendekatan ini dikembangkan oleh seorang Psikiater yang bernama William Glasser pada tahun 1950 an di Amerika Serikat. Pendekatan ini disebut juga Reality Therapy. Dalam mengembangkan terapi ia ia mendasarkan pada pengalamannya yang merasa tidak puas atas praktek psikiatri yang ada saat itu, bahkan ia mempertanyakan dasar-dasar pikiran teori psikiatri yang berorientasi ke pandangan Freudian.
Ide dasar pengembangan pendekatan Konseling Realita yang berorientasi pada cognitive behavioral ini adalah sebagai berikut :
a.       Manusia memiliki kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan psikologis disebut dengan kebutuhan identitas yang meliputi kebutuhan akan merasa adanya keunikan, perbedaan, dan kemandirian sebagai kebutuhan yang bersifat universal.
Glasser menyebutkan adanya dua identitas yang berlawanan yaitu identitas berhasil dan identitas gagal.
b.      Manusia memiliki kekuatan untuk tumbuh atau sehat yang mendorong menuju ke identitas sukses/ berhasil.
c.       Dalam merumuskan identitas, orang lain mempunyai peranan penting dalam membantu individu melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berhasil / gagal.
d.      Kekuatan tumbuh pada manusia bukan pembawaan, melainkan sebagai bentuk tingkah laku yang dipelajari / belajar.
e.       Konselor memandang manusia atas dasar tingkah laku yang didasarkan pada pengukuran objektif yang disebut realita.
f.       Konseling memandang tingkah laku manusia tidak terikat pada filsafat deterministik, namun mendasarkan pada asumsi bahwa akhirnya manusia mengarahkan diri sendiri.
g.      Ada tiga landasan untuk tumbuh dalam rangka memuaskan kebutuhan identitas diri yaitu :
1.      Right: adalah kebenaran dan tingkah laku seseorang dengan standar norma yang berlaku baik itu norma agama, hukum, dan lain-lain.
2.      Reality: adalah kenyataan, yaltu individu bertingkah laku sesuai dengan kenyataan yang ada.
3.      Responsibility: adalah bertanggung jawab, yaitu tingkah laku dalam memenuhi kebutuhan dengan menggunakan cara yang tidak merugikan orang lain.
C.   TUJUAN KONSELING
            Konseling Realita bertujuan membantu individu untuk mencapai otonomi, dengan identitas berhasil sebagai tujuan khususnya. Konselor dalam prosedur konseling berusaha membantu klien menemukan pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan Right, Responsibility dan Reality. Dalam hal ini Klien belajar ketrampilan umum, ketrampilan kognitif/ intelektual, dan ketrampilan menghadapi masalah kehidupannya.
Pengalaman klien yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu adalah pengalaman memusatkan pada tingkah laku, membuat rencana, mengevaluasi tingkah laku sendiri, belajar kecanduan positif (positive addiction) sebagai puncak pengalaman.
            Tujuan umum konseling realita dan sudut pandang konselor menurut Burks (1979) menekankan bahwa konseling realita merupakan bentuk mengajar dan latihan individual secara khusus. Secara luas, konseling ini membantu konseli dalam mengembangkan sistem atau cara hidup yang kaya akan keberhasilan.
1.      Menolong individu agar mampu mengurus dirinya sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2.      Mendorong konseli  agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3.      Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.      Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5.      Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D.    HUBUNGAN KONSELOR DAN KLIEN
1.      Konselor
Tugas utama konselor adalah menjadi terlibat dengan konselinya dan kemudian menghadapi konseli dengan mengusahakan agar konseli mengambil keputusan. Konselor bertuas melayani sebagai pembimbing untuk membantu konseli menaksir tingkahlaku mereka secara realistis. Konselor diharapkan memberi hadiah bila konseli berbuat dalam cara yang bertanggungjawab dan tidak menerima setiap penghindaran atas kenyataan atau tidak mengarahkan konseli menyalahkan setiap hal atau setiap orang. Beberapa kualitas pribadi yang harus dimiliki konselor adalah kemampuan untuk sensitif, untuk mencapai kebutuhan mereka secara terbuka, tidak untuk menerima ampunan, menunjukkan dukungan yang terus menerus dalam membantu konseli, untuk memahami dan mengempati konseli, dan untuk terlibat dengan tulus hati.
2.      Konseli
Dalam konseling realita, pengalaman yang perlu dimiliki oleh konseli adalah peran konseli memusatkan pada tingkah laku dalam proses konseling (konseli diharapkan memusatkan pada tingkah laku mereka sebagai ganti dari perasaan dan sikap-sikapnya), konseli membuat dan menyepakati rencana (ketika konseli memutuskn untuk bagaimana mereka ingin berubah, mereka diharapkan untuk mengembangkan rencana khusus untuk mengubah tingkah laku gagal ke tingkahlaku berhasil), konseli mengevaluasi tingkah lakunya sendiri, dan konseli belajar kecanduan positif (dalam hal ini Glasser mengungkapkan pentingnya belajar tanpa kritik dari orang lain dalam setiap usaha kita.
3.      Situasi Hubungan
Konseling realita didasarkan pada hubungan pribadi dan keterlibatan antara konseli dan konselor. Konselor dengan kehangatan, pengertian, penerimaan dan kepercayaan pda kapasitas orang untuk mengembangkan identitas berhasil, harus mengkomunikasikan dirinya kepada konseli bahwa dirinya membantu. Melalui keterlibatan ini, konseli belajar mengenai hidup daripada memusatkan pada mengungkap kegagalan dan tingkah laku yang tidak bertanggungjawab. Kunci konseling realita adanya kesepakatan/komitmen dalam membuat rencana dan melaksanakannya. Perencanaan yang telah dilakukan oleh konseli dinilai positif  jika ditulis dalam kontrak. Dalam konseling realita ditekankan tidak adanya ampunan/ no excuses ketika konseli tidak melaksanakan rencananya.
E.   PROSES KONSELING
      Prosedur konseling realita mencakup empat tahap, yaitu keterlibatan, anda adalah tingkah laku, belajar kembali dan evaluasi
1.      Keterlibatan (Involvement)
Keterlibatan klien dalam suasana konseling dengan konselor untuk mencapai fungsi kebebasan, tanggung jawab dan kemandirian (otonomi). Sehingga keterlibatan disini dapat dimaknai sebagai empati dalam proses konseling.
2.      Anda adalah Tingkah laku ( You are Behaviour)
Konseling harus berpusat pada tingkah laku (bukan pada perasaan), dan berpusat pada saat sekarang. Hal ini berarti bahwa dalam proses konseling realita harus memusatkan perhatian pada tingkah laku klien pada saat ini dengan menekankan pada kekuatan / kemampuan klien, bukan pada kelemahan atau kekurangannya.
3.      Belajar Kembali (Re Learning)
Melihat tingkah laku klien yang terakhir yang tidak realistis, menolak tingkah laku tidak bertanggung jawab. Konselor kemudian mengajari klien cara-cara yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhan di dalam kehidupan nyata. Dalam prosedur ini melaksanakan prinsip pertimbangan nilai, perencanaan tingkah laku yang bertanggung jawab dan kesepakatan.
4.      Evaluasi
Mengevaluasi pelaksanaan kesepakatan yang dicapai pada tahap ketiga dalam bentuk kontrak (tertulis) dengan prinsip tiada ampunan dan pembatasan hukuman, merencanakan lagi tindakan lebih lanjut sebagai komitmen baru.
F.     TEKNIK KONSELING
     Pelaksanaan Konseling realita, menurut Corey (1982) ada beberapa teknik yang dapat dilaksanakan yaitu :
1.      Melakukan main peran dengan klien.
2.      Menggunakan humor
3.      Mengkonfrontasi klien dengan tidak memberikan ampunan / tidak menerima dalih.
4.      Membantu klien merumuskan rencana perubahan.
5.      Melayani klien sebagai model peranan dan guru.
6.      Menentukan batas-batas dan struktur konseling yang tepat dan jelas.
7.      Menggunakan verbal shock atau sarkasme yang tepat untuk menentang klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
8.      Terlibat dengan klien dalam mencari hidup yang lebih efektif.

Teori konseling realita memiliki beberapa teknik tersendiri yaitu:
1.      Metapor
Konselor menggunakan taknik ini seperti senyuman, imej, analogi, dan anekdot untuk memberi konseli suatu pesan penting dalam ccara yang efekitif. Konselor juga mendengarkan dan menggunakan metapor yang ditampilkan diri konseli
2.      Hubungan
Menggunakan hubungan sebagai bagian yang asensial dalam proses terapoutik. Hubungan ini harus memperlihatkan upaya menuju perubahan, menyenagkan, positif, tidak menilai, dan mendorong kesadaran konseli.
3.       Pertanyaan
Konselor menekankan evaluasi dalam perilaku total, asesmen harus berasal dari konseli sendiri. Konselor tidak mengatakan apa yang harus dilakukan koseli, tetapi menggunakan pertanyaan yang terstruktur dengan baik untuk membantu konseli menilai hidupnya dan kemudian merumuskan perilaku-perilaku yang perlu dan tidak perlu di ubah.
4.      WDEP & SAMI2C3
Merupakan akronim dari wants (keinginan), direction (arahan), evaluasi (penilaian), dan planing (rencana). Teknik ini digunakan untuk membantu konseli menilai keinginan-keinginannya. Perilaku-perilakunya, dan kemudian merumuskan rencana-rencana.
Ada dua strategi konseling realitas, yaitu membangun relasi atau lingkungan konseling dari prosedur WDEP , yaitu :
a.       Want (keinginan) : langkah mengeksplorasi keinginan yang sebenarnya dari klien ingat pada umumnya manusia membicarakan hal-hal yang tidak diinginkan. Konselor memberikan kesempatan kepada klien untuk rnengeksplorasi tentang keinginan yang sebenarnya dan dengan bertanya (mengajukan pertanyaan) bidang-bidang khusus yang relevan dengan problem atau konfliknya : misalnya teman, pasangan, pekerjaan, karir, kehidupan spiritual, hubungan dengan atasan dan bawahan, dan tentang komitmennya untuk memenuhi keinginan itu.
b.       Doing and Direction(melakukan dengan terarah) : langkah dimana klien dlharapkan mendeskripsikan perilaku secara menyeluruh berkenaan dengan 4 komponen perilaku, pikiran, tindakan, perasaan dan fisiologi yang terkait dengan hal yang bersifat umum dan hal bersifat khusus. Konselor memberi pertanyaan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dilakukan. dan keadaan fisik yang dialarni untuk memahami perilaku klien secara menyeluruh dan kesadarannya terhadap perilakunya itu.
c.       Evaluation (Evaluasi): evaluasi diri klien merupakan inti terapi realitas. Klien di dorong untuk melakukan evaluasi terhadap perilaku yang telah dilakukan terkait dengan efektifitasnya dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan membantu atau bahkan menyulitkan, ketepatan dan kemampuannya, arah dan keterarahannya, persepsinya, dan komitmennya dalam memenuhi keinginan serta pengaruh terhadap dirinya. Pertanyaan tentang hal- hal yang bersifat evaluasi “diri” disampaikan dengan empatik, kepedulian, dan penuh perhatian positif.
d.      Planning (rencana) klien membuat rencana tindakan sebagai perilaku total dengan bantuan konselor. Dalam membantu klien membuat rencana tindakan, konselor mendasarkan pada kriteria tentang rencana yang efektif, yaitu :
1)      dirumuskan oleh klien sendiri,
2)      realistis atau dapat dicapai,
3)      ditindak lanjuti dengan segera,berada di bawah kontrol klien, tidak bergantung pada orang lain tindakan bertanggung jawab.
SAMI2C3 mempersentasikan elemen-elemen yang memaksimalkan keberhasilanya keberhasilan rencana : mudah/ sederhana (simple), dapat dicapai (attainable), dapat diukur (measurable), segera (immedate), melibatkan tindakan (involving), dapat dikontrol (controled), konsisten (consistent), dan menekankan pada komitmen (committed)
5.      Renegosiasi
Konseli tidak selalu dapat menjalankan rencana perilaku pilihanya. Jika ini terjadi, maka konselor mengajak konseli untuk membuat rencana ulang dan menemukan pilihan perilaku lain yang lebih mudah.
6.      Intervebsi paradoks
Terinspirasi oleh Frankl (pendiri konselng Gestalt), Glasser menggunakan paradoks untuk mendorong konseli menerima tanggung jawab bagi perilakunya sendiri. Intetrvensi paradoksikal ini memiliki dua bentuk rerabel atau reframe dan paradoxical pressciption.
7.      Pengembangan ketrampilan
Konselor perlu membantu konseli mengembangkan ketrampilan untuk memnuhi kebutuhan dan keinginan-keinginannya dalam cara yang bertanggung jawab. Koselor dapat mengajar konseli tentang berbagai ketrampilan seperti perilaku asertif, berfikir rasional, dan membuat rencana.
8.      Adiksi positif
Menurut Glasser, merupakan teknik yang digunakan untuk menurunkan barbagai bentuk perilaku negatif dengancara memberikan kesiapan atau kekuatan mental, kreatifitas, energi dan keyakinan. Contoh : mendorong olahraga yang teratur, menulis jurnal, bermain musik, yoga, dan meditasi.
9.         Penggunakan kata kerja
Dimaksudkan untuk membantu jonseli agar mampu mengendalikan hidup mereka sendiri dan membuat pilihan perilaku total yang positif. Daripada mendeskripsikan koseli dengan kata-kata: marah, depresi, fobia, atau cemas konselor perlu menggunakan kata memarahi, mendepresikan, memfobiakan, atau mencemaskan. Ini mengimplikasikan bahwa emosi-emosi tersebut bukan merupakan keadaan yang mati tetapi bentuk tindakan yang dapat diubah.
10.  Konsekuensi natural
Konselor harus memiliki keyakinan bvahwa konseli dapat bertanggung jawab dan karena itu dapat menerima konsekuensi dari perilakunya. Koselor tidak perlu menerima permintaan maaf ketika konseli membuat kesalahan, tetapi juga tidak memberikan sangsi. Alih-alih koselor lebih memusatkan pada perilaku salah atau perilaku lain yang bisa membuat perbedaan sehingga konseli tidak perlu mengalami kosekuensi negatif dari perilakunya yang tidak bertanggung jawab.
G.    KECOCOKANNYA UNTUK DITETAPKAN DI INDONESIA
Terapi realitas tampaknya amat cocok bagi intervensi-intervensi singkat dalam situasi-situasi konseling krisis dan bagi penanganan para remaja dan orang-orang dewasa penghuni lembaga-lembaga untuk tingkah laku kriminal.
Keuntungan yang diperoleh dari terapi realitas adalah jangka waktu terapinya yang relatif pendek dan berurusan dengan masalah-masalah tingkah laku sadar. Klien dihadapkan pada keharusan mengevaluasi tingkah lakunya sendiri dan membuat pertimbangan nilai.Tapi kekurangan dari terapi realitas adalah ia tidak memberikan penekanan yang cukup pada dinamika-dinamika tak sadar dan pada masa lampau individu sebagai salah satu determinan dari tingkah lakunya sekarang. Terapi realitas bisa menjadi satu tipe campur tangan yang dangkal karena ia menggunakan kerangka yang terlampau sederhana bagi praktek terapi. Jadi hal ini dapat menghalangi pertumbuhan dan otonomi klien dengan menjadi terlalu moralis dan mempengaruhi klien untuk menerima pandangan terapis tentang kenyataan alih-alih mencari-cari jawaban dari dirinya sendiri.
Teori ini dikatakan cocok jika digunakan di Indonesia terlebih pada kota-kota besar yang mempunyai tingkat kriminalitas tinggi. Kriminalitas tinggi banyak dipengaruhi karena individu di masyarakat mempunyai pribadi yang tidak sehat sehingga diwujudkan dalam identitas gagal, yaitu pribadi yang gagal memenuhi salah satu atau semua kebutuhan dasar dan gagal terlibat dengan orang lain sebagai prasyarat biologis memuaskan kebutuhan dasar. Misalnya keterasingan diri, penolakan diri, irrasionalitas kuat, berperilaku kau, tidak objektif, lemah, tidak bertanggungjawab, kurang percaya diri, dan menolak realitas kehidupan. Ketika ndividu mendapatkan identitas gagal ini maka tingkat frustasi akan lebih tinggi dipengaruhi pula dengan keadaan sosial di kota besar, sehingga mendorong terjadinya kriminalitas.

No comments:

Post a Comment