Thursday, May 30, 2013

Teori Client-Centered

A.    Prinsip Dasar
Rogers (dalam Corey, 1988) memandang manusia sebagai individu yang tersosialisasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk berfungsi sepenuhnya, serta memiliki kebaikan yang positif. Dengan asumsi tersebut pada dasarnya manusia dapat dipercayai, kooperatif dan konstruktif, tidak perlu ada pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya. Implikasi dari pandangan filosofis seperti ini, Rogers menganggap bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju ke kondisi psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses terapi kepada klien. Oleh karena itu konseling client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan, sebab klien merupakan orang yang paling tahu tentang dirinya, dan pantas menemukan tingkah laku yang pantas bagi dirinya.
Pandangan Rogers tentang manusia adalah positif, sosial, berpandangan ke depan dan realistis, baik, dan dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik. Aktualisasi diri dipandang sebagai pengalaman kemanusiaan yang paling berarti, sehingga dengan mengaktualisasikan dirinya, menusia dapat menikmati segala aspek kehidupannya.Tingkah laku manusia diorganisasikan secara keseluruhan di sekitar tendensi manusia berbuat sesuatu.Pola perilaku manusia ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara respon yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak efektif (menghasilkan rasa tidak senang).Di samping itu pada dasarnya manusia itu kooperatif, konstruktif, dapat dipercaya, memiliki tendensi dan usaha mengaktualisasikan dirinya, berprestasi, dapat mempertahankan dirinya sendiri, mampu memilih tujuan yang benar dalam keadaan bebas dari ancaman.Pada sisi lain Rogers memandang manusia adalah sebagai makhluk sosial, berkembang, rasional dan realistis. Manusia adalah subyek yang utuh, aktif, dan unik.

B.     Konsep Dasar
Rogers mengungkapkan bahwa terdapat tiga unsur yang sangat esensial dalam hubungannya dengan kepribadian, yaitu:
1.  Self, merupakan persepsi dan nilai-nilai individu tentang dirinya atau hal-hal lain yang berhubungan dengan dirinya. Suatu konsepsi yang merupakan persepsi mengenai dirinya “I”atau “me” dan persepsi hubungan dirinya dengan orang lain dengan segala aspek kehidupannya. Self  meliputi dua hal, yaitu real self (gambaran sebenarnya tentang dirinya yang nyata) dan ideal self (apa yang menjadi kesukaan, harapan, atau yang idealisasi tentang dirinya).
2.  Medan fenomenal,  merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya baik yang disadari maupun tidak disadari. Pengalaman ada yang bersifat internal yaitu persepsi mengenai dirinya sendiri dan pengalaman yang bersifat eksternal yaitu persepsi mengenai dunia luarnya. Kita dapat memahami medan fenomenal seseorang hanya dengan menggunakan kerangka pemikiran internal individu (internal frame of reference).
3. Organisme, merupakan keseluruhan totalitas individu, yang meliputi pemikiran, perilaku dan keadaan fisik. Organisme mempunyai kecenderungan dan dorongan dasar, yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan dan mengembangkan diri.
Karakteristik perilaku bermasalah adalah: pengasingan yaitu orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensif, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya (Hansen dkk., 1982).
Rogers tidak mengemukakan bahwa teori terpusat pada pribadi sebagai pendekatan pada konseling yang pasti dan komplit. Dia berharap orang lain akan memandang teorinya sebagai suatu perangkat prinsip yang tentatif yang berkaitan dengan proses konseling itu berkembang, bukan sebagai dogma. Rogers dan Wood melukiskan karakteristik yang membedakan pendekatan terpusat pada pribadi dengan model yang lain. Adaptasi dari deskripsi itu adalah sebagai berikut.
Pendekatan terpusat pada pribadi difokuskan pada pertanggung jawaban dan kapasitas klien untuk menemukan cara agar bisa menghadapi realitas. Klien, yang paling tahu tentang dirinya, adalah yang harus menemukan perilaku yang lebih tepat baginya yang didasarkan pada kesadaran diri yang sedang tumbuh.
Pendekatan itu menekankan dunia fenomena si klien. Dengan usaha untuk bisa mengantisipasi kerangka referensi internal si klien maka konselor menaruh kepeduliannya terutama pada persepsi klien akan dirinya dan dunia.
Prinsip psikoterapi yang sama berlaku bagi semua klien “normal”, “neurotik”, dan “psikotik”. Berdasarkan pandangan bahwa usaha untuk bisa bergerak ke kedewasaan psikologi berakar kuat pada sifat dasar manusia, maka prinsip pendekatan terpusat pada pribadi berlaku bagi mereka yang berfungsi pada tingkat yang relatif normal dan juga pada mereka yang mengalami salah penyesuaian psikologis pada tingkat yang lebih tinggi.
Menurut pendekatan terpusat pada pribadi psikoterapi hanyalah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertumbuhan psikoterapik dalam dan lewat hubungan dengan orang lain yang menolongnya berbuat sesuatu yang tidak bisa dia perbuat sendirian. Psikoterapi merupakan hubungan dengan konselor yang kongruen (menjadikan perilaku dan pengungkapan eksternal berpasangan dengan perasaan dan pikiran internal), yang mau menerima dan empati memberikan fasilitas kepada klien untuk bisa mengalami perubahan terapeutik.Teori terpusat pada pribadi mengatakan bahwa fungsi terapis adalah untuk segera hadir dan bisa dihubungi oleh klien dan untuk berfokus pada pengalaman disini dan sekarang.
Mungkin melebihi pendekatan pada psikoterapi/konseling yang manapun, terapi terpusat pada pribadi telah mengembangkan lewat penelitian suatu proses dan hasil akhir dari terapi. Teorinya tidaklah tertutup melainkan telah tumbuh melalui observasi konseling selama bertahun-tahun dan terus berubah pada saat penelitian baru mendapatkan pemahaman tentang sifat dasar manusia yang terus bertambah dan proses terapeutiknya.
Jadi, pendekatan terpusat pada pribadi bukanlah seperangkat teknik ataupun dogma. Dengan berakar pada suatu perangkat sikap dan kepercayaan yang didemonstrasikan oleh terapis maka terapi ini bisa dikarakterisasikan sebagai cara keberadaan dan sebagai perjalanan yang sama-sama mengungkapkan kemanusiaan masing-masing dan saling berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

C.    Tujuan Konseling
Menurut pandangan Rogers tujuan konseling tidak hanya menyelesaikan problema. Melainkan, membantu klien dalam proses pertumbuhannya sehingga dia akan bisa lebih baik menangani problema yang dihadapinya sekarang dan yang akan mereka hadapi di masa depan.
Rogers menulis bahwa orang yang masuk ke kegiatan konseling sering bertanya: “Bagaimana saya bisa menemukan pribadi saya yang sesungguhnya? Bagaimana saya bisa menjadi orang sedemikian saya dambakan? Bagaimana saya bisa ada di belakang penampilan semu saya dan menjadi diriku sendiri?”.Tujuan yang dianggap penting oleh konselor adalah bisa menciptakan suasana yang kondusif yang bisa menolong si individu menjadi orang yang berfungsi secara penuh.
Rogers melukiskan orang yang menjadi semakin teraktualisasi sebagai yang memiliki (1) keterbukaan terhadap pengalaman, (2) percaya pada diri sendiri, (3) sumber evaluasi internal, dan (4) kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut. Mendorong terciptanya karakteristik ini merupakan tujuan dasar dari pendekatan terpusat pada pribadi.
Salah satu alasan mengapa klien menginginkan konseling adalah rasa ketidakberdayaan yang mendasar, tidak memiliki kekuasaan, dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau secara efektif mengarahkan hidupnya. Mereka berharap bisa menemukan “jalan” setelah mendapatkan pengajaran dari konselor. Namun, di dalam kerangka terpusat pada pribadi, mereka akan segera tahu bahwa dalam kaitan itu mereka bisa bertanggung jawab sendiri dan bahwa mereka bisa belajar untuk bisa lebih merdeka dengan menggunakan hubungan itu bisa lebih baik memahami diri sendiri.

D.    Hubungan Konselor-Klien
Dalam pandangan Rogers, konselor lebih banyak berperan sebagai partner klien dalam memecahkan masalahnya.Dalam hubungan konseling, konselor ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oelh klien.
Agar peran ini dapat dipertahankan dan tujuan konseling dapat dicapai, maka konselor perlu menciptakan iklim atau kondisi yang mampu menumbuhkan hubungan konseling. Kondisi konseling ini menurut Rogers (1961), satu keharusan dan cukup memadai untuk pertumbuhan, sehingga dia menyebutnya sebagai necessary and sufficieb=nt conditions for therapeutic change. Kondisi-kondisi yang perlu diciptakan itu adalah sebagai berikut.
1.    Ada dua orang dalam konteks psikologi.
2.    Orang pertama, yang kita beri nama klien, mengalami hal yang tidak kongruen.
3.  Orang kedua, yang kita beri nama konselor, adalah orang yang kongruen dalam interaksi hubungan itu.
4.   Konselor menaruh perhatian positif yaitu betul-betul peduli terhadap klien.
5.  Konselor mengalami pemahaman secara empati terhadap ukuran internal dengan mana klien membentuk sikap atau keputusan dan usaha untuk mengkomunikasikannya dengan klien.
6.  Yang dikomunikasikan kepada klien yang berupa pemahaman empati dan perhatian positif tanpa syarat itu diterima dalam tingkat yang minim.
Dari perspektif Rogers hubungan konselor/klien berciri kesamaan derajat, oleh karena konselor tidak merahasiakan pengetahuannya ataupun berusaha menjadikan proses konseling suatu mistik. Proses perubahan dalam diri klien sebagian besar bergantung pada kualitas kesamaan derajat hubungan itu. Karena pengalaman klien melihat terapis mau mendengarkan dengan sikap terbuka kepada mereka, sedikit demi sedikit bisa belajar bagaimana dengan hati terbuka mereka mau mendengarkan pada diri sendiri.Oleh karena mereka mengetahui konselor mau peduli dan menghargai mereka (bahkan aspek yang selama ini disembunyikan dan dianggap negatif), mereka mulai tahu harga dan nilai dalam diri mereka sendiri.Oleh karena mereka mengalami kenyataan dari konselor, mereka membuang banyak dari kepura-puraan mereka dan bersikap wajar tehadap diri mereka sendiri dan terhadap konselor.
Tiga ciri pribadi, atau sikap konselor merupakan bagian sentral dari hubungan konseling: (1) kongruensi, atau keaslian, (2) perhatian positif tidak bersyarat, (3) pemahaman empati yang akurat. Dari ketiga ciri itu, kongruensi merupakan yang paling penting.Kongruensi mengandung arti bahwa konseling adalah riil; yaitu mereka itu jujur, terintegrasi, dan otentik selama berlangsungnya kegiatan konseling. Mereka tidak memakai kedok, sedangkan apa yang mereka alami di hati dan apa yang diungkapkan keluar cocok, dan mereka bisa secara terbuka mengungkapkan perasaan dan sikap yang ada dalam hubungannya dengan klien. Konselor yang otentik secara spontan maupun yang negatif, yang mengalir dalam dirinya. Dengan mengungkapkan (dan menerima) perasaan negatif apapun, mereka bisa menjadi fasilitator terjadinya komunikasi yang jujur dengan klien.
Melalui keontetikan konselor berlaku sebagai model dari manusia yang berjuang menuju realitas yang lebih besar. Oleh karena kongruen maka diperlukan pengungkapan amarah, frustasi, senang kepada seseorang/sesuatu untuk menarik perhatian, kepedulian, kebosanan, terganggu, dan sederetan perasaan yang lain dalam hubungan itu. Ini tidak berarti bahwa konselor seyogyanya secara positif berbagi seluruh perasaan dengan klien, oleh karena pengungkapan diri juga harus pada tempatnya.Juga tidak berarti bahwa klien merupakan penyebab konselor merasa bosan atau marah. Jebakan yang akan dijumpai adalah bahwa konselor akan berusaha terlalu keras untuk menjadi jujur. Berbagi karena orang mengira bahwa itu akan baik bagi klien, tanpa secara sepenuh hati tergerak untuk mengungkapkan sesuatu yang dianggap ungkapan pribadi, bisa berarti tidak kongruen. Namun, konselor harus memikul tanggung jawab terhadap perasaan mereka sendiri dan menggali perasaan klien yang tetap saja tidak berubah yang merupakan batu ganjalan untuk mampu hadir  bersama klien secara penuh. Tentu saja sasaran konseling bukanlah untuk membuat konselor terus-menerus membicarakan perasaannya dengan klien. Terapi terpusat pada pribadi juga menekankan bahwa konseling akan terkekang kalau konselor mengalami suatu perasaan tertentu terhadap klien tetapi berbuat lain dari yang telah dirasakan itu. Oleh karena itu, apabila konselor tidak menyukai ataupun tidak menyetujui si klien tetapi berbuat seolah-olah menerima keadaan klien, maka konseling tidak akan berjalan.
Konsep Rogers tentang kongruen tidak berarti bahwa hanya konselor yang secara penuh mengaktualisasikan diri yang bisa efektif dalam menjalankan konseling. Oleh karena konselor itu juga manusia biasa maka mereka tidak bisa diharapkan untuk bisa otentik secara penuh. Model terpusat pada pribadi berasumsi bahwa apabila konselor kongruen dalam hubungannya dengan klien, maka proses konseling pun terjadi. Kongruensi berada dalam kontinum dan bukan berdasar pada semua atau tidak sama sekali, seperti yang terjadi pada ketiga ciri itu.
Sikap positif yang tidak bersyarat dan mau menerima. Sikap kedua yang diperlukan konselor untuk berkomunikasi dengan klien adalah kepedulian yang mendalam dan ikhlas terhadapnya sebagai pribadi.Kepedulian itu tidak dikotori oleh evaluasi atau penilaian baik ayau buruk terhadap perasaan, pandangan serta perilaku klien.Konselor menghargai dan dengan hangat menerima klien tanpa mentyertakan persyaratan.Bukan sikap seperti “Saya mau menerima asal…” melainkan salah satu dari sikap “Saya menerima Anda seperti adanya”. Dalam komunikasinya konselor mengambil sikap bahwa mereka menghargai klien seperti apa adanya dan bahwa si klien bebas untuk memiliki perasaan dan pengalaman tanpa resiko tidak bisa diterima oleh konselor. Bisa diterima merupakan pengakuan hak klien untuk memiliki perasaan; ini bukan persetujuan terhadap semua perilaku. Semua perilaku yang terbuka  tidak perlu harus disetujui atau pun diterima.
Hal yang juga penting adalah bahwa kepedulian konselor itu tanpa pamrih. Apabila kepedulian itu bersumber dari kebutuhan mereka untuk bisa disukai atau dihargai maka perubahan yang konstruktif dalam diri klien menjadi terhambat.
Salah satu implikasi dari penekanan terhadap penerimaan adalah bahwa konselor yang tidak begitu respek terhadap klien maupun ketidaksenangan yang aktif atau muak bisa mengantisipasi bahwa kerjanya nanti tidak akan membuahkan sesuatu. Klien akan merasakan tidak adanya perhatian ini dan menjadi makin bersikap defensif.
Pemahaman empati yang akurat. Salah satu dari tugas utama konselor adalah memaklumi pengalaman dan perasan klien secara sensitif dan akurat pada saat semuanya itu diungkapkan dalam saat-saat interaksi dalam sesi konseling. Konselor berusaha keras untuk menghayati pengalaman subyektif klien, terutama yang terjadi di sini dan sekarang. Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat klien untuk lebih dekat dengan dirinya sendiri, merasakan lebih mendalam dan intens, dan untuk mengenali dan menguraikan ketidak-kongruensi-an yang ada di dalam dirinya.
Pemahaman empati berarti bahwa konselor akan merasakan apa yang dirasakan klien seolah-olah yang mereka rasakan sendiri tanpa harus terhanyut kepada perasaan itu. Dengan secara bebas bergerak dalam dunia seperti yang dialami klien konselor tidak hanya akan mengkomunikasikan kepada klien bahwa ia memaklumi apa yang sudah mereka ketahui tetapi juga bisa menyuarakan makna pengalaman yang oleh klien selama ini hanya disadari secara samar-samar. Penting untuk dipahami bahwa empati akurat jauh melampaui pengenalan akan perasaan yang jelas-jelas bisa dilihat ke suatu perasaan yang kurang jelas dialami klien.
Empati menyertakan lebih daripada mencerminkan kepuasan pada klien, dan lebih daripada suatu teknik semu yang secara rutin digunakan oleh konselor. Empati bukan sekedar pengetahuan obyektif, yang merupakan pemahaman evaluatif dari luar tentang diri klien. Melainkan, empati adalah pemahaman yang mendalam dan subyektif dari si klien bersama klien. Empati adalah rasa indentifikasi pribadi bersama klien. Konselor bisa berbagi hubungan dengan dunia subyektif klien dengan menyesuaikannya dengan perasaan mereka sendiri seperti apa yang dirasakan klien. Namun konselor tidak boleh kehilangan rasa keterpisahan mereka pada dirinya sendiri. Rogers percaya bahwa manakala konselor dapat memasuki dan memahami dunia pribadi si klien, seperti yang dilihat dan dirasakan klien, tanpa kehilangan keterpisahan dari identitasnya sendiri, maka perubahan mungkin bisa terjadi.

E.     Proses Konseling
Proses konseling dengan pendekatan client centered dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien mampu memilih sendiri apakah ia akan terus minta bantuan atau akan membatalkannya.
2.    Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, maka konselor menyadarkan hal ini kepada klien.
3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya atau permasalahannya secara apa adanya, lengkap dan jelas. Dalam hal ini konselor harus menunjukkan sikap ramah, bersahabat dan menerima klien sebagaimana adanya.
4.  Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.
5.  Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya/masalahnya.
6.  Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
7.      Klien merealisasikam pilihan itu dalam tindakan/perbuatan.
Proses tersebut oleh Edy Legowo dkk, (2008) dapat diformulasikan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1.  Pendahuluan, yaitu konselor menerima kehadiran klien atas kesadaran dan inisiatif sendiri dengan mengemukakan segala permasalahannya. Pada langkah ini konselor perlu menciptakan suasana yang kondusif, hubungan interpersonal penuh keakraban dan kehangatan, sehingga klien merasa kehadirannya mendapatkan respon positif dari konselor.
2.   Penjelasan masalah, yaitu langkah di mana konselor memberikan kesempatan dorongan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya (self reflection) dan perkiraannya secara bebas yang berkaitan dengan permasalahannya. Sehubungan dengan hal ini, konselor dituntut secara tulus dan profesional mampu menjernihkan perasaan-perasaan klien yang bersifat negatif termasuk menerima perasaan-perasaan positif dari klien dengan penuh kesadaran.
3.  Penggalian latar permasalahan, yaitu langkah di mana konselor mendorong klien untuk mengungkapkan lebih lengkap, mendalam dan terbuka. Hal ini diharapkan klien secara berangsur-angsur mengenal, memahami dan mererima keadaann dirinya sendiri beserta permasalahannya secara utuh.
4.   Penyelesaian masalah, yaitu langkah konselor mendorong klien menyalurkan perasaan dan pikirannya ke arah pengambilan keputusan dan tindakan dalam rangka memecahkan masalahnya.
5.     Penutupan, yaitu konselor memberikan ringkasan tentang jalannya pembicaraan/pembahasan dalam proses konseling. Menegaskan kembali kesempatan ini konselor perlu tetap menumbuhkembangkan hubungan interpersonal yang dilandasi good raport sehingga klien merasa diterima kehadiran dan permasalahanya tentang keputusan tindakan yang diambil klien. Pada langkah ini juga konselor memberikan dorongan kepada klien untuk melaksanakan keputusan tindakan yang telah ditetapkan serta menawarkan bantuan bilamana menghadapi masalah baru. Dalam kesempatan ini konselor perlu menumbuhkembangkan hubungan interpersonal yang dilandasi good raport sehingga klien merasa diterima kehadiran dan permasalahannya. 

F.     Teknik-Teknik Konseling
Rogers (dalam Corey, 1986) menekankan bahwa yang terpenting dalam proses konseling ini adalah filsafat dan sikap konselor, bukan pada teknik yang didesain untuk membuat klien “berbuat sesuatu”. Pada dasarnya teknik itu menggambarkan implementasi filsafat dan sikap, yang harus konsisten dengan filsafat dan sikap konselor. Dengan adanya perkembangan yang menekankan filsafat dan sikap ini maka ada perubahan-perubahan di dalam frekuensi penggunaan bermacam teknik misalnya: bertanya, penstrukturan, interpretasi, memberi saran atau nasihat.
Teknik-teknik tersebut sebagai cara untuk mewujudkan dan mengkomunikasikan acceptance, understanding, menghargai, dan mengusahakan agar klien mengetahui bahwa konselor berusaha mengembangkan internal frame of reference klien dengan cara konselor mengikuti fikiran, perasaan dan eksplorasi klien, yang merupakan teknik pokok untuk menciptakan dan memelihara hubungan konseling. Oleh karenanya teknik-teknik tersebut tidak dapat digunakan secara self compulsy (dengan sendirinya) bila konselor tidak tahu dalam menggunakan teknik-teknik tersebut. Dengan demikian proses konseling ditinjau dari pandangan klien dari pengamatan dan perubahan yang terjadi di dalam diri klien, bisa juga dilihat dari sudut pandang konselor berdasarkan bagaimana tingkah laku dan partisipasi konselor dalam hubungan ini.

G.    Kecocokannya untuk Diterapkan di Indonesia
Menurut kelompok kami teori client centered cocok di terapkan di Indonesia karena masyarakat di Negara berkembang seperti Indonesia masyarakatnya individualis sehingga banyak klien yang tidak pernah menemui orang dan bisa benar – benar mau mendengarkannya serta mau memahaminya. Di dalam pendekatan ini terdapat konsep pemahaman empatik, empati merupakan alat yang ampuh untuk mengkomunikasikan bahwa klien bisa dimengerti.
Teori ini tidak cocok di terapkan di Indonesia bila klien – kliennya mempunyai masalah  gangguan mental, keterpaksaan klien datang ke konselor,  klien yang terlibat masalah kecanduan obat – obatan,  klien yang mengalami gangguan psikologis ( phobia, traumatik),  serta konselor yang mempunyai budaya yang berbeda dengan klien.

Teori Konseling Trait and Factor

A. KONSEP UTAMA
         Menurut teori ini kepribadian merupakan sistem atau faktor yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya seperti kecakapan, minat, sikap dan tempramen. Beberapa tokoh yang sering dikenal dalam teori trait and factor adalah Walter Bigham, John Darley, Donald G.Paterson dan E.G.Williamson.
         Hal yang mendasari bagi konseling Trait and Factor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar bagi pengembangan potensinya.
         Dikatakan selanjutnya bahwa tugas konseling Trait and Factor adalah membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegitan dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir (Shertzer & Stone, 1980, 171).
         Ada beberapa asumsi pokok yang mendasari teori konseling trait and factor, adalah:
1.      Karena setiap individu sebagai suatu pola kecakapan dan kemampuan yang terorganisasikan secara unik, dan karena kualitas yang relative stabil setelah remaja, maka tes objektif dapat digunakan untuk mengindentifikasi karakteristik tersebut.
2.      Pola-pola kepribadian dan minat berkorelasi dengan perilaku kerja tertentu.
3.      Kurikulum sekolah yang berbeda akan menuntut kapasitas dan minat yang berbeda dalam hal ini dapat ditentukan.
4.      Baik siswa maupun konselor hendaknya mendiagnosa potensi siswa untuk mengawali penempatan dalam kurikulum atau pekerjaan.
5.      Setiap orang memiliki kecakapan dan keinginan untuk mengindentifikasi secara kognitif kemampuan sendiri.
B.     PENGERTIAN KONSELING TRAIT AND FACTOR
         Yang dimaksud dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berprilaku, seperti intelegensi (berpikir), iba hati (berperasaan), dan agresif (berprilaku). Ciri itu dianggap sebagai suatu dimensi kepribadian, yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah.
         Teori Trait-Factor adalah pandangan yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilukiskan dengan mengidentifikasikan jumlah ciri, sejauh tampak dari hasil testing psikologis yang mengukur masing-masing dimensi kepribadian itu. Konseling Trait-Factor berpegang pada pandangan yang sama dan menggunakan tes-tes psikologis untuk menanalisis atau mendiagnosis seseorang mengenai ciri-ciri dimensi/aspek kepribadian tertentu, yang diketahui mempunyai relevansi terhadap keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam jabatan dan mengikuti suatu program studi.
         Dan juga Istilah konseling trait-factor dapat dideskripsikan adalah corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan baraneka problem yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi/bidang pekerjaan.
C.     TUJUAN KONSELING TRAIT AND FACTOR
         Konseling Trait and Factor memiliki tujuan untuk mengajak siswa (konseling) untuk berfikir mengenai dirinya serta mampu mengembangkan cara-cara yang dilakukan agar dapat keluar dari masalah yang dihadapinya. TF dimaksudkan agar siswa mengalami:
• Self-Clarification / Klarifikasi diri
• Self-Understanding / Pemahaman diri
• Self-Acceptance / Penerimaan diri
• Self-Direction / Pengarahan diri
• Sel-Actualization / Aktualisasi diri
D.     PROSES KONSELING TRAIT AND FACTOR
1.        Tahap Analisis
         Tahap kegiatan yang terdiri pengumpulan informasi dan data mengenai klien.
 
2.        Tahap Sintesis
         Langkah merangkum dan mengatur data dari hasil analisis yang sedemikian rupa sehingga menunjukkan bakat, kekuatan, kelemahan dan kemampuan penyesuaian diri klien.
 
3.        Tahap Diagnosis
         Sebenarnya merupakan langkah pertama dalam bimbingan dan hendaknya dapat menemukan ketetapan yang dapat mengarah kepada permasalahan, sebab-sebabnya, sifat-sifat klien yang relevan dan berpengruh pada penyesuaian diri. Diagnosis meliputi :
1.    Identifikasi masalah yang sifatnya deskriptif misalnya dengan menggunakan kategori Bordin dan Pepinsky
Kategori diagnosis Bordin
a.    dependence (ketergantungan)
b.    lack of information (kurangnya informasi)
c.    self conflict (konflik diri)
d.    choice anxiety (kecemasan dalam membuat pilihan)
      Kategori diagnosis Pepinsky
a.    lack of assurance (kurang dukungan)
b.    lack of information (kurang informasi)
c.    dependence (ketergantungan)
d.    self conflict (konlflik diri)
 
2.    Menentukan sebab-sebab, mencakup perhatian hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang dapat menerangkan sebab-sebab gejala. Konselor menggunakan intuisinya yang dicek oleh logika, oleh reaksi klien, oleh uji coba dari program kerja berdasarkan diagnosa sementara.
 
3.    Prognosis yang sebenarnya terkandung didalam diagnosis misalnya diagnosisnya kurang cerdas pronosisnya menjadi kurang cerdas untuk pekerjaan sekolah yang sulit sehingga mungkin sekali gagal kalau ingin belajar menjadi dokter. Kalau klien belum sanggup berbuat demikian, maka Konselor bertanggung jawab dan membantu klien untuk mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab. Untuk dirinya sendiri, yang berarti dia mampu dan mengerti secara logis, tetapi secara emosional belum mau menerima.
4.        Konseling merupakan hubungan membantu klien untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber diluar dirinya, baik dilembaga, sekolah dan masyarakat dalam upaya mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuannya. Dalam kaitan ini ada lima jenis konseling adalah
a.    belajar terpimpin menuju pengertian diri
b.    mendidik kembali atau mengajar kembali sesuai dengan kebutuhan individu sebagai alat untuk mencapai tujuan kepribadiannya dan penyesuaian hidupnya.
c.    Bantuan pribadi dan Konselor, agar klien mengerti dan trampil dalam menggunakan prinsip dan teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
d.    Mencakup hubungan dan teknik yang bersifat menyembuhkan dan efektif.
e.    Mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyaluran
 
5.        Tindak Lanjut mencakup bantuan kepada klien dalam menghadapi maslaah baru dengan mengingatkannya kepada masalah sumbernya sehingga menjamin keberhasilan konsleing. Teknik yang digunakan harus disesuaikan dengan individualitas klien.
E.     TEKNIK KONSELING TRAIT AND FACTOR
1.        Pengunaan hungan intim (Rapport), Konselor harus menerima konseli dalam hubungan yang hangat, intim, bersifat pribadi, penuh pemahaman dan terhindar dari hal-hal yang mengancam konseli.
 
2.        Memperbaiki pemahaman diri, konseli harus memahami kekuatan dan kelemahan dirinya, dan dibantu untuk menggunakan kekuatannya dalam upaya mengatasi kelemahannya. Penafsiran data dan diagnosis dilakukan bersama-sama dengan klien dan Konselor menunjukkan profil tes secara arif.
 
3.      Pemberian nasehat dan perencanaan program kegiatan. Konselor mulai dari pilihan, tujuan, pandangan atau sikap Konselor dan kemudian menunjukkan data yang mendukung atau tidak mendukung dari hasil diagnosis. Penjelasan mengenai pemberian nasehat harus dipahami klien.
 
         Tiga metode pemberian nasehat yang dapat digunakan oleh Konselor :
a.    Nasehat langsung (direct advising), dimana Konselor secara terbuka dan jelas menyatakan pendapatnya.
b.    Metode persuasif, dengna menunjukan pilihan yang pasti secara jelas.
c.    Metode penjelasan, yang merupakan metode ynag paling dikehendaki dan memuaskan. Konselor secara hati-hati dan perlahan-lahan menjelaskan data diagnostic dan menunjukan kemungkinan situasi yang menuntut penggunaan potensi konseli.
d.    Melaksanakan rencana, yaitu Konselor memberikan bantuan dalam menetapkan pilihan atau keputusan secara implementasinya.
 
4.      Menunjukkan kepada petugas lain (alih tangan) bila dirasa Konselor tidak dapat mengatasi masalah klien.
 
F.      KELEBIHAN DAN KELEMAHAN KONSELING TRAIT AND FACTOR
Adapun kelebihan yang diberikan teori ini adalah:
1.        Teori ciri dan sifat menerapkan pendekatan ilmiah pada konseling
2.      Penekanan pada penggunaan data tes objektif, membawa kepada upaya perbaikan dalam pengembangan tes dan penggunanya, serta perbaikan dalam pengumpulan data lingkungan.
3.      Penekanan yang diberikan pada diagnose mengandung makna sebagai suatu perhatian terhadap masalah dan sumbernya mengarahkan kepada upaya pengkreasian teknik-teknik untuk mengatasinya.
4.      Penekanan pada aspek kognitif merupakan upaya menyeimbangkan pandangan lain yang lebih menekankan afektif atau emosional.
Adapun kelemahan konseling trait and factor, sebagai berikut:
1.        Kurang diindahkan adanya pengaruh dari perasaan, keinginan, dambaan aneka nilai budaya (cultural values), nilai-nalai kehudupan (personal values), dan cita-cita hidup, terhadap perkembangan jabatan anak dan remaja (vocational development) serta pilihan program/bidang studi dan bidang pekerjaan (vocational choice).
2.      Kurang diperhatikan peran keluarga dekat, yang ikut mempengaruhi rangkaian pilihan anak dengan cara mengungkapkan harapan, dambaan dan memberikan pertimbangan untung-rugi sambil menunjuk pada tradisi keluarga; tuntutan mengingat ekonomi keluarga; serta keterbatasan yang konkrit dalam kemampuan finansial, dan sebagainya.
3.      Kurang diperhitungkannya perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat, yang ikut memperluas atau membatasi jumlah pilihan yang tersedia bagi seseorang.
4.      Kurang disadari bahwa konstelasi kualifikasi yang dituntut untuk mencapai sukses di suatu bidang pekerjaan atau program studi dapat berubah selama tahun-tahun yang akan datang.
5.      Pola ciri-ciri kepribadian tertentu pasti sangat membatasi jumlah kesempatan yang terbuka bagi seseorang, karena orang dari berbagai pola ciri kepribadian dapat mencapai sukses di bidang pekerjaan yang sama.

Teori Konseling eklektik

TEORI KONSELING EKLEKTIK
Di dalam melakukan konseling, terdapat berbagai macam teori konseling yang dapat digunakan oleh konselor sebagai pedoman pelaksanaan konseling. Salah satu teori konseling tersebut adalah teori konseling eklektik. Konseling eklektik (eclectic counseling) mulai dikembangkan sejak tahun 1940-an oleh Frederick Thorne yang merupakan promotor utama dari corak konseling ini. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Robinson. Teori konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan hasil perpaduan berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan.
A.    Prinsip Dasar
         Menurut Thorne kepribadian seorang individu terbentuk dan tercermin sebagai interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Hal ini merupakan karakteristik dari proses berubah dan menjadi.
Dinamika kepribadian terdiri dari serangkaian dorongan yang meliputi :
  • Dorongan untuk perwujudan diri yang lebih tinggi (aktualisasi, fungsi sempurna, integrasi).
  • Dorongan untuk mencapai dan memelihara kestabilitasan diri (pemeliharaan diri, kontrol diri, tujuan hidup, gaya hidup).
  • Dorongan menggabungkan fungsi pertentangan dalam diri sehingga menghindari ketidakseimbangan.
       Suatu gaya hidup individu didasarkan pada pola karakteristik dari pencapaian penggabungan strateginya dalam memuaskan kebutuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan (realitas) hidup. Kesadaran adalah mempertimbangkan, mengorganisasikan, menggabungkan, dan menyatukan mekanisme penentu serta membuat kemungkinan fungsi kepribadian yang lebih tinggi. Penggambaran diri didefinisikan sebagai apa yang orang pikirkan tentang dirinya sedangkan konsep diri digambarkan sebagai inti dari evaluasi diri seseorang ketika menampakkan dirinya kepada orang lain.
     Dari pandangan eklektik, perkembangan kepribadian diakui sebagai suatu perjuangan untuk penentu ketidaksadaran afektif-impulsif dari perilaku-perilaku melalui pembelajaran dan penyempurnaan rasional-logika-fakultatif-kontrol perilaku.
B.    Konsep Dasar
      Kata eklektik berarti menyeleksi, memilih doktrin yang sesuai atau metode dari berbagai sumber atau sistem. Teori konseling eklektik menunjuk pada suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan, yang merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. 
        Konselor yang berpegang pada pola eklektik berpendapat bahwa mengikuti satu orientasi teoritis serta menerapkan satu pendekatan terlalu membatasi ruang gerak konselor sebaliknya konselor ingin menggunakan variasi dalam sudut pandangan, prosedur dan teknik sehingga dapat melayani masing-masing konseli sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah-masalah yang dihadapi. Ini tidak berarti bahwa konselor berpikir dan bertindak seperti orang yang bersikap opportunis, dalam arti diterapkan saja pandangan, prosedur dan teknik yang kebetulan membawa hasil yang paling baik tanpa berpegang pada prinsip-prinsip tertentu. Konselor yang berpegang pada pola eklektik menguasai sejumlah prosedur dan teknik  serta memilih dari prosedur-prosedur dan teknik-teknik yang tersedia, mana yang dianggapnya paling sesuai dalam melayani konseli tertentu. (Winkel, 1991: 373)
        Dari pengetahuannya pada persepsi, pengembangan, pembelajaran dan kepribadian, konselor eklektik mengembangkan metode dan memilih yang paling sesuai dengan masalah yang dihadapi individu.
Konselor mengembangkan pandangan eklektik yang digambarkan oleh Brammer dengan urutan sebagai berikut :
  • Konselor menolak penekanan teori secara khusus dengan mengamati dan menilai klien dan perilaku konselor lainnya.
  • Konselor mempelajari sejarah dari konseling dan psikoterapi untuk mengembangkan pengetahuannya.
  • Konselor yang mengembangkan pandangan eklektik mengetahui kepribadiannya sendiri dan menyadari gaya interaksi yang perlu dikembangkan dalam hubungan konseling sesuai dengan karakteristik klien yang berbeda-beda.
      Teori konseling eklektik seperti yang dipersepsikan oleh Thorne membutuhkan tanggapan dari klien tentang sejarah masa lalu mereka, situasi saat ini, dan kemungkinan di masa yang akan datang, dengan memanfaatkan pengetahuan perkembangan kepribadian dari ilmu biologi dan sosial. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang perwujudan diri individu.
Teori konseling eklektik dibangun atas kebutuhan akan memaksimalkan intelektual individu sebagai sumber daya untuk mengembangkan pemecahan masalah. Penyesuaian yang salah diyakini sebagai hasil dari kegagalan klien dalam belajar menggunakan sumber daya intelektual.
Menurut Thorne, konseling dan psikoterapi dipahami sebagai proses pembelajaran yang meliputi :
  • Mendiagnosis faktor-faktor psikodinamika etiologi dalam rangka untuk merumuskan masalah yang akan dipelajari.
  • Menyusun suasana kondusif untuk pembelajaran.
  • Menguraikan dan membimbing langkah-langkah pendidikan.
  • Menyediakan kesempatan untuk praktik.
  • Memberi wawasan terhadap proses yang alami dan hasilnya untuk meningkatkan motivasi belajar.
C.    Tujuan Konseling
        Tujuan konseling menurut teori eklektik adalah membantu klien mengembangkan integrasinya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan. Untuk mencapai tujuan yang ideal ini maka klien perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan klien secara sadar dan intensif, dan memiliki latihan pengendalian atas permasalahan. Oleh karena itu, konselor dituntut untuk memiliki kepribadian yang baik.
      Tujuan layanan konseling eklektik  adalah menggantikan tingkah laku yang terlalu kompulsif dan emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional dan lebih konstruktif. Konselor sebagai ahli konseling yang menguasai berbagai prosedur dan teknik untuk memberikan bantuan kepada orang lain serta berkompeten untuk mendampingi konseli dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidup secara tuntas.
D.    Hubungan antara Konselor dan Klien
    Dalam konseling eklektik peran konselor tidak terdefinisi secara khusus. Beberapa ahli eklektik memberikan penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian pada kliennya dan menciptakan iklim kondusif bagi perubahan yang diinginkan klien.
       Tugas konselor adalah mendampingi konseli dalam melatih diri sendiri untuk memanfaatkan kemampuan berpikir yang dimilikinya. Konseling eklektik sebagaimana dikembangkan oleh Thorne dianggap sesuai untuk diterapkan terhadap orang-orang yang tergolong normal, yaitu tidak menunjukkan gejala-gejala kelainan dalam kepribadiannya atau gangguan kesehatan mental yang berat. Orang-orang yang normal itu dapat saja menghadapi berbagai persoalan hidup, yang dapat mereka selesaikan tanpa dituntut perombakan total dalam kepribadiannya.
       Individu menghubungi seorang konselor, bilamana dia mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Para konseli mengharapkan bertemu dengan seorang ahli, yang lebih pandai dari mereka dalam memikirkan persoalan-persoalan hidup dan memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal-hal itu daripada mereka sendiri. Oleh karena itu, konselor memberikan pengarahan sejauh yang diperlukan.
        Dalam berkomunikasi dengan konseli, konselor harus menentukan kapan konseli membutuhkan banyak pengarahan untuk penyaluran pikiran, informasi, instruksi, usul, serta saran; dan kapan konseli tidak membutuhkan pengarahan itu. Konselorlah yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan konseli pada tahap tertentu dalam proses konseling. Konseli sebagai manusia dianggap memiliki dorongan yang timbul dari dirinya sendiri untuk mempertahankan (maintenance) dan mengembangkan dirinya sendiri seoptimal mungkin (actualization). Namun, realisasi dari dorongan dasar ini dapat terhambat karena konseli belum mempergunakan kemampuannya untuk berpikir secara efektif dan efisien.
      Selama proses konseling, setiap kali konseli menunjukkan kemajuan dalam mengatur kehidupannya sendiri dengan berpikir rasional, konselor mengurangi pengarahan yang diberikannya. Sedangkan setiap kali konseli menunjukkan kemunduran dalam mengatur diri sendiri, konselor menambah pengarahan dengan membantu berpikir yang lebih baik.
       Bagi konseli, proses konseling merupakan suatu proses belajar yang mengalami gelombang pasang surut, yang berarti mengalami masa kemajuan dan masa kemunduran, tetapi secara keseluruhannya proses belajar itu memperlihatkan tanda-tanda kemajuan. Untuk itu, konseli dituntut mempunyai motivasi yang cukup kuat, mampu berkomunikasi dalam suasana hubungan pribadi, mampu mengungkapkan persoalan-persoalannya dengan kata-kata yang memadai, dan memiliki kepribadian yang cukup stabil, sehingga dapat menemukan suatu penyelesaian dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari setelah konseling berakhir.
        Dalam teknik konseling verbal Thorne menganjurkan agar konseli diberi kesempatan untuk menemukan penyelesaian atas masalahnya sendiri tanpa pengarahan dari konselor.  Bilamana ternyata konseli belum dapat menemukan penyelesaian atas masalahnya sendiri, barulah konselor mulai memberikan pengarahan yang jelas.
      Thorne menekankan perlunya konselor mengumpulkan data tentang konseli sebanyak mungkin yang dapat diperoleh dari berbagai sumber. Data itu dianggap perlu, supaya konselor dapat membuat suatu diagnosis (psychological diagnosis) dan hubungan sebab-akibat antara unsur-unsur sehingga persoalan konseli menjadi jelas dan supaya kelanjutan dari proses konseling dapat direncanakan dengan lebih baik.
Menurut patokan yang dipegang oleh Thorne, seseorang dikatakan telah berhasil dalam menjalani proses konseling bila individu :
  • Mampu mengungkapkan perasaan-perasaan dan motif-motifnya secara lebih memadai.
  • Mampu mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik.
  • Mampu memandang dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya secara lebih realistik.
  • Mampu berpikir lebih rasional dan logis.
  • Mampu mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang lebih selaras dan lebih konsisten yang satu dengan yang lain.
  • Mampu mengatasi penipuan diri dengan meninggalkan penggunaan berbagai mekanisme pertahanan diri.
  • Menunjukkan tanda-tanda lebih mampu mandiri dan bertindak secara lebih dewasa.
E.    Proses Konseling
1.    Tahap Pembukaan
        Selama proses ini, konselor berusaha untuk menciptakan relasi hubungan antar pribadi yang baik. Pada awal proses konseling, bila konseli baru mengutarakan masalahnya serta mengungkapkan semua pikiran dan perasaannya tentang masalah itu, digunakan banyak teknik verbal yang tidak mengandung pengarahan tegas oleh konselor, seperti ajakan untuk mulai, refleksi pikiran dan perasaan, klarifikasi pikiran dan perasaan, permintaan untuk melanjutkan, pengulangan satu-dua kata, dan ringkasan sementara.
Namun, dalam keseluruhannya proses konseling tidak dibiarkan berjalan ala kadamya, tetapi diatur menurut urutan fase-fase penutup. 
2.    Tahap Penjelasan Masalah
       Konseli mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi.  Selama tahap ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh sambil menunjukkan pemahaman dan pengertian serta memantulkan perasaan dan pikiran yang diungkap oleh konseli. Konselor banyak menggunakan teknik-teknik verbal yang mengandung pengarahan minimal.
Konselor berusaha untuk menentukan apa yang diharapkan konseli dari dirinya. Harapan ini merupakan kebutuhan konseli pada saat sekarang dan berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling. Kebutuhan konseli dapat bermacam-macam, antara lain:
  • Konseli membutuhkan informasi tentang sesuatu dan dia akan puas setelah mendapat informasi yang relevan. Tanggapan konselor berupa penjelasan tentang hal yang ditanyakan kalau dia langsung mengetahuinya, atau berupa penunjukan sumber-sumber informasi yang relevan.
  • Konseli membutuhkan dukungan moral dalam menghadapi suatu situasi kehidupan yang sulit baginya. Konseli ingin mencurahkan isi hatinya dan mengurangi beban batinnya dengan mengutarakan semua kepada seseorang yang dapat mendengar dengan tenang dan bersikap empati. Tanggapan konselor dapat berupa pemberian semangat dan keberanian serta pengangkatan hati.
  • Konseli membutuhkan konfirmasi atau suatu pilihan yang telah dibuatnya. Konselor dapat mempersilakan konseli untuk menjelaskan atas dasar pertimbangan-pertimbangan apa ditentukan pilihan itu.
  • Konseli membutuhkan bantuan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya, yang memang belum ditemukan cara penyelesaiannya. Kebutuhan ini menjadi nyata dari ungkapan-ungkapan konseli selama tahap penjelasan masalah.
3.    Tahap Penggalian Masalah
     Konselor dan konseli bersama-sama menggali latar belakang masalah, antara lain asal-usul permasalahan, unsur-unsur yang pokok dan tidak pokok, pihak-pihak siapa saja yang terlibat, perasaan dan pikiran konseli  mengenai masalah yang dihadapi.
4.    Tahap Penyelesaian Masalah
     Dengan berpegang pada perbedaan antara a choise case dan a change case, konselor dan konseli membahas persoalan sampai ditemukan penyelesaian yang tuntas dengan mengindahkan semua data dan fakta.
5.    Tahap penutup
      Selama tahap ini konselor mengakhiri proses konseling, baik yang masih akan disusul dengan konseling lain maupun yang merupakan konseling terakhir. (Winkel, 1990:373)
F.    Teknik-Teknik Konseling
       Pendapat yang paling relevan bagi konselor yang menggunakan teknik eklektik adalah tingkat keaktifan konselor dalam bekerja dengan konseli. Setelah menelusuri sejarah dari dasar pemikiran tentang peran konselor, Thorne membuat kesimpulan tentang penggunaan teknik aktif dan teknik pasif:
  • Metode pasif harus digunakan bila memungkinkan.
  • Metode aktif harus digunakan hanya dengan indikasi tertentu. Pada umumnya, hanya meminimalkan campur tangan secara langsung yang  diperlukan untuk mencapai tujuan terapeutik.
  • Teknik pasif biasanya menggunakan metode pilihan pada tahap awal terapi saat klien bercerita dan untuk melepaskan emosional.
  • Hukum parsimoni harus diamati setiap saat. Metode yang sulit digunakan setelah metode sederhana gagal dilakukan.
  • Semua terapi berpusat pada klien. Ini berarti bahwa kepentingan klien menjadi pertimbangan utama. Ini tidak berarti bahwa metode aktif kontra-indikasi. Dalam banyak kasus, kebutuhan klien menunjukkan tindakan direktif.
  • Memberi kesempatan kepada setiap klien untuk menyelesaikan masalahnya secara tidak langsung.
  • Metode aktif biasanya ditunjukkan dalam situasi ketidakmampuan dimana solusi tidak dapat dicapai tanpa kerja sama dengan orang lain.
  • Konseling eklektik cenderung mengutamakan klien yang aktif dan konselor yang pasif. Tetapi bila teknik pasif yang dilakukan konselor mengalami hambatan, maka konselor baru menggunakan teknik aktif.
G.    Kecocokannya untuk Diterapkan di Indonesia
     Teori konseling eklektik merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. Konselor yang menggunakan pendekatan ini dapat melayani konseli sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah-masalah yang dihadapi. Dengan demikian, teori ini cocok untuk diterapkan di Indonesia yang individu-individunya memiliki berbagai karakteristik. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki beragam budaya dan terdiri dari beragam suku bangsa.
Teori konseling eklektik dibangun atas kebutuhan akan memaksimalkan intelektual individu sebagai sumber daya untuk mengembangkan pemecahan masalah. Penyesuaian yang salah diyakini sebagai hasil dari kegagalan klien dalam belajar menggunakan sumber daya intelektual. Hal ini sejalan dengan kebutuhan sumber daya manusia di Indonesia yang memiliki intelektual yang cukup tinggi tetapi kurang mampu mengembangkannya secara optimal.
Konseling eklektik bertujuan menggantikan tingkah laku yang terlalu kompulsif dan emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional dan lebih konstruktif. Teori ini cocok diterapkan di Indonesia dimana sebagian besar penduduknya masih percaya pada hal-hal yang berhubungan dengan mistis dan takhayul, sehingga kurang bisa berpikir rasional.

Teknik Konseling Gestalt



TEKNIK KONSELING : GESTALT
A.    Prinsip Dasar Konseling GESTALT
Terdapat beberapa prinsip yang mendasari teori Gestalt meliputi : holisme, teori lapangan, proses formasi figur, aturan organismis diri;
Holisme : Menurut Latner (1986) Holisme merupakan salah satu prinsip pokok konseling Gestalt, semua perangai dipandang sebagai satu kesatuan dan seluruhnya koheren, dan semua berbeda dari setiap bagiannya.
Teori Lapangan : konseling Gestalt berdasarkan teori lapangan yang berdasarkan pada prinsip bahwa organisme harus dilihat dalam lingkungannya sendiri, atau dalam konteksnya, sebagai bagian lapangan yang berubah-rubah secara konstan. konselig Gestalt merehat prinsip bahwa segala sesuatu itu saling berhubungan, saling berkaitan dan ada dalam proses.
Proses Formasi Figur,: proses formasi figur menggambarkan bagaimana individu mengorganisir lingkungannya dari waktu ke waktu. Dalam terapi Gestalt lapangan yang tidak berbeda di sebut sebagi background, dan munculnya fokus perhatian disebut figur (Latner,1986).

Keadaan sekarang merupakan masa yang paling penting dalam konseling Gestalt. Salah satu kontribusi utama pendekatan Gestalt adalah penekanannya pada pembelajaran untuk mengapresiasi dan pengalaman disaat sekarang.
E Polster dan Polster (1973) mengembangkan tesis bahwa “kekuatan adalah keadaan yang ada saat ini”. Banyak orang menghabiskan energinya untuk menangisi kesalahan masa lalunya. Untuk membantu klien menjalin hubungan dengan keadaan saat sekarang, pelaksana konseling Gestalt terfokus pada beberapa pertanyaan “apa” dan “bagaimana”.

Urusan yang tak berakhir tetap bertahan sampai individu menghadapi dan mempermasalahkan perasaan-perasaan yang terpendam. Konselor Gestalt menekankan pemberian perhatian pada pengalaman tubuh atas asumsi bahwa jika perasaan tidak diungkapkan maka cenderung menimbulkan gejala-gejala psikologis.
Perasaan yang tidak dikenal menimbulkan emosi yang tidak perlu yang mengacaukan kesadaran yang ada. Kebuntuan (stuck point) adalah waktu ketika dukungan eksternal tidak lagi berarti atau cara yang lumrah tidak lagi berjalan.
Dalam terapi Gestalt menjalin hubungan dibutuhkan jika perubahan dan pertumbuhan ingin terjadi. Ketika kita menjalin hubungan dengan lingkungan, maka perubahan tidak dapat dihindari. Hubungan itu dilahirkan dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, dan gerakan. Hubungan yang efektif berarti interaksi yang baik dengan alam dan manusia lain tanpa menghilangkan rasa individualitas seseorang. Hal ini merupakan kelengkapan individu yang kreatif yang diperbaharui secara terus menerus pada lingkungannya (M. Polster,1987)
Konselor Gestal juga terfokus pada tantangan dalam menjalin hubungan, E. Polster dan Polster (1973) menggambarkan lima aliran utama tantangan tersebut ; introjeksi, proyeksi, retrofleksi, defleksi, dan pertemuan.
1.      Introjeksi : kecenderungan untuk menerima kepercayaan dan derajat orang lain tanpa kritis, tanpa menjadikannya selaras dengan keadaan kita sebenarnya.
2.      Proyeksi : kebalikan introjeksi, dalam proyeksi kita ditunjukan aspek-aspek tertentu diri kita dalam lingkungan. Ketika kita sedang diproyeksi, kita mempunyai gangguan yang membedakan antara dunia internal dan dunia luar, berupa sifat-sifat kepribadian kita yang tidak konsisten dengan citra diri kita yang ditunjukan didepan orang lain.
3.      Retrofleksi : yaitu melihat diri kita ke belakang apa yang ingin kita lakukan pada orang lain dan sedang melakukan apa untuk diri kita, apa yang akan dilakukan oranglain pada kita.
4.      Defleksi : merupakan proses penyimpangan, sehingga sulit untuk mempertahankan rasa keterhubungan yang ditopang. Pemyimpangan ini berupa berkurangnya pengalaman emosional.
5.      Konfluens : berupa pengaburan perbedaan antara pribadi dan lingkungan. Konfluens dalam masalah hubungan meliputi ketidak terlibatan diri dalam konflik .



B.     Konsep Dasar Konseling GESTALT
Konseling Gestalt menitikberatkan pada semua yang timbul pada saat ini. Pendekatan ini tidak memperhatikan masa lampau dan juga tidak memperhatikan yang akan datang. Jadi pendekatan Gestalt lebih menekankan pada proses yang ada selama konseling berlangsung. Dalam buku Geralt Corey menekankan konsep-konsep seperti perluasan kesadaran, penerimaan tanggung jawab pribadi, urusan yang tak terselesaikan, penghindaran,dan menyadari saat sekarang.
Bagi Perls, tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Karena masa lalu telah pergi dan masa depan belum terjadi,maka saat sekaranglah yang terpenting. Guna membantu klien untk membuat kontak dengan saat sekarang, terapis lebih suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan ”apa” dan “bagaimana” ketimbang “mengapa”, karena pertanyaan mengapa dapat mengarah pada pemikiran yang tak berkesudahan tentang masa lampau yang hanya akan membangkitkan penolakan terhadap saat sekarang.
Konsep dasar pendekatan Gestalt adalah Kesadaran, dan sasaran utama Gestalt adalah pencapaian kesadaran. Menurut buku M.A Subandi (psikoterapi, hal. 96) kesadaran meliputi:
Kesadaran akan efektif apabila didasarkan pada dan disemangati oleh kebutuhan yang ada saat ini yang dirasakan oleh individu
Kesadaran tidak komplit tanpa pengertian langsung tentang kenyataan suatu situasi dan bagaimana seseorang berada di dalam situasi tersebut.
Kesadaran itu selalu ada di sini-dan-saat ini. Kesadaran adalah hasil penginderaan, bukan sesuatu yang mustahil terjadi.
Dalam buku Geralt Corey (1995), dalam terapi Gestalt terdapat juga konsep tentang urusan yang tak terselesaikan, yaitu mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, sakit hati, kecemasan rasa diabaikan dan sebagainya. Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan dan fantasi tertentu. Karena tidak terungkap dalam kesadaran, perasaan itu tetap tinggal dan dibawa kepada kehidupan sekarang yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Dengan ini, di harapkan klien akan dibawa kesadarannya dimasa sekarang dengan mencoba menyuruhnya kembali kemasa lalu dan kemudian klien disuruh untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya saat lalu sehingga perasaan yang tak terselesaikan dulu bisa dihadapi saat ini.
C.    Tujuan konseling GESTALT
Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan hidupnya.
          Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.
Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut.
a.       Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
b.      Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya
c.       Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself)
d.      Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.

D.    Hubungan Konselor-Klien Konseling GESTALT
Praktek  konseling  Gestalt  yang  efektif  melibatkan  hubungan  pribadi  ke  pribadi antara  konseling  dan  klien.  Pengalaman-pengalaman, kesadaran, persepsi-persepsi konseling menjadi latara belakang, sementara kesadaran dan reaksi-reaksi klien membentuk bagian muka proses konseling. Yang  penting  adalah  konseling  secara  aktif  berbagi persepsi-persepsi  dan  pengalaman-pengalaman  saat  sekarang  ketika  dia menghadapi klien disini dan sekarang. Disamping itu, konseling memberikan umpan balik,  terutama  yang  berkaitan  dengan  apa  yang  dilakukan  oleh  klien  melalui tubuhnya. Umapan balik memberikan alat kepada klien untuk mengembangkan kesadaran atas apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Konselor harus menghadapi klien dengan  reaksi-reaksi yang  jujur dan langsung  serta  menantang  manipulasi-manipulasi  klien  tanpa  menolak  klien sebagai pribadi (Corey, 1995: 344). Konselor bersama klien perlu mengeksplorasi ketakutan-ketakutan, pengharapan-pengharapan katastrofik, penghambatan-penghambatan, dan penolakan-penolakan klien.
M. A Subandi dalam bukunya (Psikoterapi, hal. 89), Hubungan antara konselor dan klien adalah sejajar yaitu hubungan antara klien dan konselor itu adanya /melibatkan dialog dan hubungan antara keduanya. Pengalaman – pengalaman kesadaran dan persepsi konselor merupakan inti dari proses konseling.
Menurut Gerald Corey dalam bukunya (Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, hal. 132),  hubungan terapis dan klien dalam praktek terapi Gestalt yang efektif yaitu dengan melibatkan hubungan pribadi-ke-pribadi antara terapis dan klien. Pengalaman-pengalaman, kesadaran, dan persepsi-persepsi terapis menjadi latar belakang, sementara kesadaran dan reaksi-reaksi klien membentuk bagian muka proses terapi.
Polster dan Polster (1973, h.18-23) memperingatkan bahwa jika konselor mengabaikan kualitas-kualitas pribadinya sebagai instrument dalam konseling, maka dia hanya akan menjadi seorang teknisi. Mereka menganjurkan penggunaan tingkah laku terapis yang berlingkup luas, dan memperingatkan bahaya dari tindakan mengidentikkan konseling dengan teknik-teknik yang berlingkup terbatas. Mereka juga menganjurkan konselor untuk membangkitkan spontanitas diri dan menggunakan hubungan dengan klien sebagai teknik terapeutik. Kempler (1973, h.261) menyebut hubungan yang actual antara klien dan konselor sebagai inti dari proses terapeutik, dan ia menentang “penggunaan taktik-taktik yang bisa menyembunyikan identitas nyata dari terapis di hadapan banyak kliennya”. Kempler menandaskan bahwa penggunaan permainan peran bisa menjadi godaan bagi konselor untuk menjaga agar respon-respon pribadinya tetap tersembunyi. Meskipun mungkin bisa menjadi cara yang efektif, permainan peran itu bukanlah tujuan akhir terapi. Kempler juga menyebutkan bahwa teknik-teknik sering menjadi alat bantu yang bernilai bagi proses terapeutik, tetapi ia menekankan proses hubungan konselor dank lien dengan alasan bahwa kualitas hubungan konselor-klien itu menentukan apa yang terjadi pada keduanya.
Sebagai sebuah jenis terapi eksistensial, terapi penggunaan Gestal meliputi hubungan orang per orang antara konselor dengan kliennya. Konselor bertanggungjawab atas kualitas keberadaannya, atas pengetahuan tentang dirinya dan klien, dan terbuka dalam mengingatkan klien.Konselor Gestalt bukan hanya memperbolehkan kliennya untuk menjadi dirinya sendiri tetapi juga mengingatkan dirinya sendiri dan jangan sampai melanggar aturan.Banyak para pelaku terapi Gestalt sekarang ini menempatkan peningkatan penekanan pada faktor-faktor seperti kehadiran, dialog autentik, keberanian, mengurangi penggunaan ujian stereotip, lebih mempercayai pengelaman-pengalaman klien.
E. Polster dan Polster (1973) menekankan pentingnya pengetahuan diri konselor dan menjadikannya sebagai instrumen terapi. Intervensi yang digunakan oleh pelaku terapi menggunakan pengembangan proses ini. Ujicoba harus ditujukan untuk membentuk kesadaran, bukan pada solusi sederhana atas masalah-masalah klien.

E.     Proses konseling GESTALT
Proses konseling Gestalt dilaksanakan melalui beberapa Fase konseling yaitu :
Fase pertama, konselor mengembangkan pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang diciptakan untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang harus dipecahkan.
Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan klien untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada dua hal yang dilakukan konselor dalam fase ini, yaitu :
1.      Membangkitkan motivasi klien, dalam hal ini klien diberi kesempatan untuk menyadari ketidaksenangannya atau ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap ketidakpuasannya semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.
2.      Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien dan menekankan kepada klien bahwa klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara bertanggung jawab.
Fase ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat ini, klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini.Kadang-kadang klien diperbolahkan memproyeksikan dirinya kepada konselor.Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek kepribadian yang hilang, dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.
Fase keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling. Pada fase ini klien menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi. Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya dan tingkah lakunya. Dalam situasi ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan” diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.

F.     Teknik-teknik Konseling GESTALT
Di depan telah disebutkan bahwa konseling Gestalt adalah lebih dari sekedar sekumpulan teknik atau “permainan-permainan”. Apabila interaksi pribadi antara konselor dank lien merupakan inti dari proses terapeutik, teknik-teknik bisa berguna sebagai alat untuk membantu klien guna memperoleh kesadaran yang lebih penuh, mengalami konflik-konflik internal, menyelesaikan inkonsistensi-inkonsistensi dan dikotomi-dikotomo, dan menembus jalan buntu yang menghambat penyelesaian urusan yang tak selesai. Teknik-teknik dalam konseling Gestalt digunakan sesuai dengan gaya kepribadian konselor.

1.      Permainan dialog
Sebagaimana telah disebutkan di muka, salah satu tujuan dari konseling Gestalt adalah mengusahakan fungsi yang terpadu dan penerimaan atas aspek-aspek kepribadian yang dicoba dibuang atau diingkari. Konseling Gestalt menaruh perhatian yang besar pada pemisahan dalam fungsi kepribadian. Yang paling utama adalah pemisahan antara “top dog” dan “under dog”. Konseling sering difokuskan pada pertentangan antara “top dog” dan “under dog” itu.
Top dog itu adil, otoriter, moralistic, menuntut, berlaku sebagai majikan, dan manipulative. Ia adalah “orang tua yang kritis” yang mengusik kata-kata “harus” dan “sewajibnya” serta memanipulasi dengan ancaman-ancaman bencana. Sedangkan under dog memanipulasi dengan memainkan peran sebagai korban, defensive, membela diri, tak berdaya, lemah, dan tak berkekuasaan. Ia adalah sisi pasif, tanpa tanggungjawab, dan ingin dimaklumi. Top dog dan uder dog terlibat dalam pertarungan yang tak berkesudahan untuk memperoleh kendali. Perterungan itu bisa membantu menerangkan, mengapa resolusi-resolusi dan janji-janji sering tidak terlaksana dan mengapa kelambanan menjadi menetap. Top dog yang tiran menutut seseorang untuk begini dan begitu, sementara under dog dengan sikap menentang memainkan peran sebagai anak yang bandel. Sebagai akibat dari pertarungan untuk memperoleh kendali itu, individu menjadi terpecah ke dalam situasi sebagai yang dikendalikan. Perang saudara antara dua sisi tersebut tidak pernah sepenuhnya berakhir, sebab kedua sisi berjuang demi keberadaannya.
Konflik antara dua sisi kepribadian yang berlawanan itu berakar pada mekanisme introyeksi yang melibatkan penggabungan aspek-aspek dari orang lain, biasanya orang tua, ke dalam system ego individu. Perls menunjukkan bahwa pengambilan nilai-nilai dan sifat-sifat orang lain itu perlu dan diharapkan. Akan tetapi, ada bahayanya apabila seseorang menerima seluruh nilai orang lain secara tidak kritis, yakni meyebabkan orang itu sulit untuk menjadi pribadi yang otonom. Adalah suatu hal yang esensial bahwa orang menyadari introyeksinya, terutama introyeksi beracun yang dapat meracuni system dan menghambat integrasi kepribadian.
Teknik kursi kosong adalah suatu cara untuk mengajak klien agar mengeksternalisasikan introyeksinya. Dalam teknik ini dua kursi diletakkan di tengah ruangan. Konselor meminta klien duduk di kursi yang satu dan meminkan peran sebagai top dog, kemudian berpisah ke kursi lain menjadi under dog. Dialog bisa dilangsungkan diantara kedua sisi klien. Melalui teknik ini introyeksi-introyeksi bisa dimunculkan ke permukaan, dank lien bisa mengalami konflik lebih penuh. Konflik bisa diselesaikan melalui permainan dan integrasi kedua sisi kepribadian klien. Teknik ini membantu klien agar bisa berhubungan dengan perasaan atau sisi fari dirinya sendiri yang diingkarinya; klien mengintensifkan dan mengalami secara penuh perasaan-perasaan yang bertentangan, ketimbang hanya membicarakannya. Selanjutnya dengan membantu kien untuk menyadari perasaan adalah bagian dari yang sangat nyata, teknik ini mencegah klien memisahkan perasaan. Teknik ini juga bisa membantu klien untuk mengetahui introyeksi-introyeksi parental yang tidak menyenangkan. Contohnya, mungkin klien berkata, “Itu kedengarannya mirip dengan apa yang dikatakan oleh ayah  saya terhadap saya!” introyeksi-introyeksi parental dapat menyebabkan permainan “menyiksa diri”terus berlangsung selama klien mempertahankan perintah-perintah orang tuanya yang digunakan untuk menghukum dan mengendalikan diri sendiri.
Dialog antara dua kecenderungan yang berlawanan memiliki sasaran meningkatkan taraf integrasi polaritas-polaritas dan konflik-konflik yang ada pada diri seseorang ke taraf yang lebih tinggi. Dengan sasaran itu konselor tidak bermaksud memisahkan klien dari sifat-sifat tertentu, tetapi mendorong klien agar belajar menerima dan hidup dengan polaritas-polaritas. Perls yakin bahwa pendekatan-pendekatan lain terlalu menitik beratkan perubahan. Ia menandaskan bahwa perubahan tak bisa dipaksakan dan bahwa melalui penerimaan atas polaritas-polaritas. Integrasi bisa terjadi serta klien akan menghentikan permainan menyiksa dirinya. Terdapat banyak contoh konflik umum yang bisa digunakan dalam permainan dialog. Diantaranya adalah : (1) sisi orang tua melawan sisi anak. (2) sisi tanggungjawab lawan sisi yang impulsive. (3) sisi yang purintan lawan sisi yang sexy. (4) “anak baik” lawan “anak nakal”. (5) diri yang agresif lawan diri yang pasif. Dan (6) sisi yang otonom lawan sisi yang marah.
Teknik permaianan dialog dapat digunakan,baik dalam konseling individual maupun konseling kelompok. Berikut ini uraian salah satu contoh konflik umum antara top dog dan underdog yang telah dibuktikan menjadi kekuatan membantu klien menjadi lebih sadar atas pemisahan internalnya dan atas sisi yang mungkin menjadi dominan. Klien yang dalam kasus ini adalah seorang wanita, memainkan peranan sebagai orang yang malang, lemah, tak berdaya, dan bergantung. Klien mengeluh bahwa dirinya malang, benci dan dendam terhadap suaminya, tetapi dia takut bahwa jika suaminya itu meninggalkan dirinya, dia akan mengalami disintegrasi. Klien menggunakan suami sebagai dalih  bagi ketidakmampuannya. Dia terus menerus menempatkan dirinya di bawah, dan selalu berkata “Saya tidak bisa”, menetapkan bahwa dirinya cukup malang untuk menginginkan perubahan gaya kebergantungannya, konselor meminta klien untuk duduk di sebuah kursi di tengah ruangan menjadi underdog dan membesar-besarkan sisi dirinya ini. Kemudian jika klien menjadi anak terhadap sisi underdognya itu, konselor meminta klien untuk menjadi sisi yang lain – yakni sisi top dog yang memandang rendah – dan berbicara kepada “saya yang malang”. Kemudian konselor meminta kepada klien agar berpura-pura bahwa dia berkuasa, kuat dan maniri serta bertindak seakan-akan dia bukan tidak berdaya. Konselor bertanya, “Apa yang akan terjadi jika Anda kuat dan mandiri serta jika Anda menyingkirkan kebergantungan Anda?”. Teknik-teknik semacam ini sering bisa menggerakkan para klien kea rah sungguh-sungguh mengalami peran-peran yang mereka inginkan untuk seterusnya, yang acap kali menghasilkan penemuan kembali aspek-aspek otonom.

2.      Membuat lingkaran dan berkeliling
Berkeliling adalah suatu latihan konseling Gestalt dimana klien diminta untuk berkeliling ke anggota-anggota kelompoknya, dan berbicara atau melakukan sesuatu dengan setiap anggota kelompoknya itu. Maksud teknik ini adalah untuk menghadapi, memberanikan dan menyingkapkan diri, bereksperimen dengan tingkah laku yang baru, serta tumbuh dan berubah. Seorang partisipan perlu menghadapi setiap anggotanya dalam kelompok dengan suatu tema. Misalnya, seorang anggota kelompok berkata, “Saya telah lama duduk di sini, ingin berpartisipasi, tapi tak jadi karena aku takut untuk memberikan kepercayaan kepada orang-orang yang ada disini. Selain itu, saya tidak yakin bahwa saya pantas untuk menghabiskan waktu dengan kelompok ini”. Konselor bisa menjawabnya dengan pertanyaa, “Bisakah anda melakukan sesuatu sekarang juga untuk membawa diri Anda lebih jauh dan mulai bekerja guna memperoleh rasa percaya dan kepercayaan diri?” Jika jawaban orang itu mengiakan, konselor menganjurkan,”pergilah kepada setiap anggota kelompok dan selesaikanlah ini. Saya tidak mempercayai Anda karena. . . . . .” sejumlah latihan bisa membantu orang untuk melibatkan diri dan memilih mengatasi hal-hal yang membekukan dirinya dalam ketakutan.
Sejumlah contoh lain yang ditangani melalui teknik “berkeliling”, direfleksikan oleh komentar-komentar para klien seperti, “Saya ingin lebih sering berhubungan dengan orang-orang”, “Saya bosan dengan apa yang berlangsung dalam kelompok ini”, “Disini tidak ada seorang pun yang tampak menaruh perhatian”, “Saya ingin menjalin hubungan dengan Anda, tapi saya takut ditolak”, “Sulit bagi saya menerima omong kosong yang baik. Saya selalu mengesampingkan yang baik-baik yang disampaikan orang lain kepada saya”, “Sulit bagi saya untuk mengatakan hal-hal yang negative kepada orang lain, saya ingin selalu menjadi orang yang menyenangkan”, “Saya ingin lebih menyenangkan dalam berhubungan dan menjalin kerabat”.

3.       “Saya memikul tanggungjawab”
Dalam latihan ini, konselor meminta untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian menambahkan pada pernyataan itu kalimat, “Dan saya bertanggungjawab untuk itu”. Contoh-contohnya adalah “Saya merasa jenuh dan saya bertanggungjawab atas kejenuhan saya itu”, “Saya mersa terasing dan kesepian, dan saya bertanggungjawab atas keterasingan saya itu”, “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakana sekarang, dan saya bertanggungjawab atas ketidaktahuan saya itu.” Teknik ini merupakan perluasan kontinum kesadaran dan dirancang untuk membantu orang-orang agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya itu kepada orang lain. Meskipun tampaknya mekanis, teknik ini terbukti bisa sangat berguna.

4.      “Saya memiliki suatu rahasia”
Teknik ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi perasaan-perasaan berdosa dan malu. Konselor meminta kepada klien untuk berkhayal tentang suatu rahasia pribadi yang terjaga dengan baik, membayangkan bagaimana perasaan mereka dan bagaimana orang lain bereaksi jika mereka membuka rahasia itu. Dalam setting kelompok, konselor meminta kepada para partisipan untuk membayangkan diri mereka sendiri di hadapan sekelompok orang dan membukakan aspek-aspek yang telah menguras banyak energy untuk menyembunyikannya terhadap orang lain. Kemudian konselor meminta kepada para pertisipan untuk membayangkan apa yang akan dikatakan oleh setiap anggota kelompok itu ketika para partisipan membuka rahasia itu kepada mereka. Teknik ini juga bisa digunakan sebagai metode pembentukan kepercayaan dalam rangka mengeksplorasi mengapa para klien mau membukakan rahasianya dan mengeksplorasi ketakutan-ketakutan menyampaikan hal-hal yang mereka anggap memalukan atau menimbulkan rasa berdosa.

5.      Bermain proyeksi
Dinamika proyeksi terdiri atas seseorang melihat pada orang lain hal-hal yang justru ia tidak mau melihatnya dan menerimanya pada dirinya sendiri. Orang bisa banyak menguras energy untuk mengingkari perasaan-perasaannya sendiri untuk mengalihkan motif-motif dirinya pada orang lain. Acap kali terutama dalam setting kelompok, pernyataan seseorang tentang orang lain sebenarnya adalah proyeksi dari atribut-atribut yang dimilikinya.
Dalam permainan “bermain proyeksi” konselor meminta kepada klien yang mengatakan “saya tidak bisa mempercayaimu” untuk memainkan peran sebagai orang yang tidak bisa menaruh kepercayaan guna menyingkapkan sejauh mana ketidakpercayaan itu menjadi konflik dalam dirinya. Dengan perkataan lain, konselor meminta klien untuk mencobakan pernyataan-pernyataan tertentu yang ditujukan kepada orang lain dalam kelompok.

6.      Pembalikan
Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering kali merepresentasikan pembalikan impuls-impuls yang mendasari atau yang laten. Jadi konselor bisa meminta klien untuk mengaku menderita inhibisi-inhibisi yang kuat dan rasa malu yang berlebihan agar memainkan peran sebagai seorang ekshibisionis dalam kelompok.
Teori yang  melandasi teknik pembalikan adalah teori bahwa klien terjun ke dalam sesuatu yang ditakutinya karena bisa menimbulkan kecemasan dan menjalin hubungan dengan bagian-bagian diri yang telah ditekan atau diingkarinya. Oleh karena itu, teknik ini membantu para klien untuk mulai menerima atribut-atribut pribadinya yang telah dicoba diingkarinya.
Ilustrasi dari teknik pembalikkan ini adalah kasus seorang wanita yang diminta oleh konselor untuk menjadi orang yang jahat. Konselor meminta kepada klien untuk berkeliling mendatangi semua orang dalam kelompoknya untuk memberikan kutukan, menunjukkan niat jahat, dan mengatakan sesuatu yang sangat ditakuti oleh mereka. Selain itu klien juga menyampaikan sumpah-sumpahnya. Klien adalah seorang yang tidak pernah mampu mengakui sisi buruk dirinya dan oleh karenanya dia merepresi sisi buruknya itu. Dia menimbun kebencian dan dendam sebagai hasil sampingan represinya. Ketika ia didorong untuk mengungkapkan sisi buruknya yang sebelumnya tak pernah dilakukannya, hasilnya cukup dramatis. Klien secara intens merasakan sisi yang diingkarinya dan lambat laun dapat mengintegrasikan sisi tersebut ke dalam dirinya.

7.      Ulangan
Menurut Perls, banyak pemikiran kita yang merupakan pengulangan. Dalam fantasi, kita mengulang peran yang kita anggap masyarakat mengharapkan kita memainkannya. Ketika tiba saat menampilkannya, kita mengalami demam panggung atau kecemasan, yakni kita takut tidak mampu memainkan peran kita itu dengn baik. Pengulangan internal menghabiskan banyak energy dan acap kali menghambat spontanitas dan kesediaan kita untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
Para anggota kelompok konseling melakukan permainan berbagi pengulangan satu sama lain dengan upaya meningkatkan kesadaran atas pengulangan-pengulangan yang dilakukan oleh mereka dalam memenuhi tuntutan memainkan peran social. Mereka menjadi lebih sadar betapa mereka selalu mencoba memenuhi pengharapan-pengharapan orang lain, sadar atas seberapa besar derajat keinginan mereka untuk disetujui, diterima, dan disukai, serta sejauh mana mereka berusaha memperoleh penerimaan.
8.      Melebih-lebihkan
Permainan ini berhubungan dengan konsep peningkatan kesadaran atas tanda-tanda dan isyarat-isyarat halus yang dikirimkan oleh seseorang melalui bahasa tubuh. Gerakan-gerakan, sikap-sikap badan, dan mimic muka bisa mengkomunikasikan makna-makna yang penting, begitupun isyarat-isyarat yang tidak lengkap. Klien diminta untuk melebih-lebihkan gerakan-gerakan atau mimic muka secara berulang-ulang, yang biasanya mengintensifkan perasaan yag terpaut pada tingkah laku dan membuat makna bagian dalam menjadi lebih jelas.
Tingkah laku yang bisa digunakan dalam permainan melebih-lebihkan itu misalnya tersenyum sambil mengungkapkan kesakitan atau perasaan negative, gemetar (menggoyangkan tangan dan kaki), dudu lunglai dan menurunkan pundak, mengepalkan tinju, mengerutkan dahi, menyeringai, dan menyilangkan tangan. Jika klien melaporkan bahwa kedua kakinya gemetar, misalnya, konselor bisa meminta kepada klien utnuk berdiri dan melebih-lebihkan getarannya. Kemudian konselor bisa meminta klien untuk mengungkapkan arti getaran kakinya itu dengan kata-kata.
Sebagai variasi dari bahasa tubuh, tingkah laku verbal juga bisa digunakan dalam permainan melebih-lebihkan. Konselor bisa meminta klien agar mengulangi pernyataan yang telah dicoba dibelokkannya, dan setiap mengulang pernyataan itu diucapkan lebih keras. Teknik ini sering membawa hasil bahwa klien mulai sugguh-sungguh mendengar dan didengar dirinya sendiri.
9.      Bisakah Anda tetap dengan perasaan ini?
Teknik ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

G.    Kecocokan Konseling GESTALT untuk diterapkan di Indonesia
Factor-faktor yang berhubungan dengan penerapan yang pantas dari teknik-teknik terapi Gestalt adalah :
1.      Waktu
2.      Jenis klien yang ditangani
3.      Setting yang dihadapi.
Sherperd (1970) menghubungakan diri dengan factor-faktor tersebut dan menggarisbawahi soal-soal yang direfleksikannya :
Pada umumnya, konseling Gestalt paling efektif menangani individu-individu yang diasosiasikan secara berlebihan, terhambat, dan mengerut –yang sering dijabarkan sebagai neurotic, fobik, perfeksionistik, tidak efektif, depresif, dsb- yang fungsi psikologisnya terbatas atau tidak konsisten, terutama ditandai oleh retriksi-retriksi internalnya, dan yang kesenangan hidupnya minimal. Sebagian besar upaya konseling Gestalt karenanya diarahkan kepada orang-orang dengan cirri-ciri tersebut.
Berikut ini adalah cirri-ciri yang spesifik konseling Gestalt.
Kelebihan konseling Gestalt :
a.       Konseling Gestalt menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau yang relevan ke saat sekarang.
b.       Konseling Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan nonverbal dan pesan-pesan tubuh.
c.        Konseling Gestalt menolak mengakui ketidakberdayaan sebagai alasan untuk tidak berubah.
d.       Konseling Gestalt meletakkan penekanan pada klien untuk menemukan makna dan penafsiran-penafsiran sendiri.
e.        Konseling Gestalt menggairahkan hubungan dan mengungkapkan perasaan langsung menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah klien.
f.        Pendekatan ini menekankan memberi bantuan pada orang untuk memasukkan dan menerima semua aspek kehidupan. Seorang individu tidak dapat dipahami diluar konteks seluruh orang yang memilih untuk bertindak pada lingkungannya dimasa sekarang (Parsons, 1975).
g.        Pendekatan ini membantu klien berfokus pada bidang pemecahan masalah yang belum terselesaikan. Ketika klien dapat menyelesaikannya, hidup dapat dijalani secara produktif.
h.       Pendekatan ini menempatkan penekanan utama pada tindakan bukan hanya bicara. Aktivitas membantu individual mengalami apa sebenarnya proses perubahan itu dan membuat kemajuan yang lebih pesat.
i.         Pendekatan ini fleksibel dan tidak terbatas hanya pada beberapa teknik. Setiap aktivitas yang membantu klien menjadi lebih integratif dapat diterapkan dalam konseling Gestalt.

Kelemahan konseling Gestalt :
a.       Konseling Gestalt tidak berlandaskan pada suatu teori yang kukuh
b.       Konseling Gestalt cenderung antiintelektual dalam arti kurang memperhitungkan faktor-faktor kognitif.
c.        Konseling Gestalt menekankan tanggung jawab atas diri kita sendiri, tetapi mengabaikan tanggung jawab kita kepada orang lain.
d.       Terdapat bahaya yang nyata bahwa konselor yang menguasai teknik-teknik Gestalt akan menggunakannya secara mekanis sehingga konselor sebagai pribadi tetap tersembunyi.
e.        Para klien sering bereaksi negative terhadap sejumlah teknik Gestalt karena merasa dianggap tolol. Sudah sepantasnya konselor berpijak pada kerangaka yang layak agar tidak tampak hanya sebagai muslihat-muslihat.
f.        Pendekatan ini kurang mempunyai dasar teoritikal. Beberapa kritik memandang konseling Gestalt sebagai semua pengalaman dan teknik  yaitu, terlalu menarik perhatian (Corey, 2005). Mereka mempertahankan bahwa pendekatan ini anti teoritikal.
g.        Pendekatan ini beradapan ketat dengan pengalaman tentang “bagaimana “ dan sekarang (Perls, 1969). Dua prinsip bermata dua ini tidak membolehkan perubahan dan sudut pandang yang pasif, yang lebih sering digunakan oleh klien.
h.       Pendekatan ini menghindari diagnosa dan pengujian.
i.         Pendekatan ini terlalu berfokus pada perkembangan individual dan dikritik atas keegoisannya. Fokusnya adalah pada perasaan dan penemuan pribadi sepenuhnya.
Secara garis besar konseling Gestalt dapat diterapkan di Indonesia. Namun harus tetap  memperhatikan beberapa norma-norma yang telah melekat di Indonesia yaitu diantaranya budaya Indonesia yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain dan tidak bisa lepas dari kebergantungan, orang Indonesia yang selalu ingin di dengar, dan selalu memikirkan orang lain, untuk bersifat egois sangat kecil kemungkinannya.