PEMBAHASAN
A.
Prinsip
Dasar
Menurut
Dustin dan George dikutip dalam buku karangan George and Christiani
Teory,Methods,and Processes of Counseling and Psychoterapy (1981 hal 108) yang
menyatakan bahwa konseling behavioral berpangkal pada beberapa keyakinan
tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi
bercorak psikologis yaitu :
1. Manusia
pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk,bagus atau jelek. Manusia
mempunya potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah.
Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal
keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola bertingkah laku yang menjadi
suatu ciri khas kepribadiannya.
2. Manusia
mampu untuk berefleksi atas tingkah lakuknya sendiri, menangkap apa yang
dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
3. Manusia
mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola yang lama dahulu
dibentuk melalui belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar,
pola itu dapat pula diganti melalui usaha belajar yang baru.
4. Manusia
dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh
perilaku orang lain.
(Winkle.
2012 : 420)
Selain
itu secara ringkasnya bahwa konseling behavioral ini berpandangan bahwa manusia
itu memiliki hal-hal berikut :
1. Lahir dalam mempunyai
bawaan netral, artinya manusia itu hak untuk berbuat baik/buruk/jahat.
2. Lahir dengan membawa
kebutuhan dasar dan dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan.
3. Kepribadian manusia
berkembang atas dasar interaksi dengan lingkungannya.
4. Mempunyai tugas untuk
berkembang melalui kegiatan belajar.
5. Manusia dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan.
(Winkle.
2012 : 420)
B.
Konsep
Dasar
1.
Hakikat
Tingkah Laku
Konseling behavioral
berpandangan, bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya:
a.
Tingkah laku
manusia diperoleh melalui belajar dan kepribadian
adalah hasil proses belajar. Belajar
merupakan suatu perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari
latihan atau pengalaman
b.
Tingkah laku
manusia tersusun dari respons-respons kognitif,
motorik dan emosional terhadap stimulus yang datang baik dari internal maupun
eksternal.
c.
Tingkah laku
manusia dipengaruhi oleh variabel-variabel
kompetensi, setrategi dan susunan pribadi, harapan-harapan, nilai stimulus,
sistem dan rencana pengaturan diri.
(Alwisol,
2011 : 320)
2.
Prinsip
Belajar
Tingkah laku manusia
dapat dilihat dari aspek kondisi yang menyertai atau akibat yang menyertai
tingkah laku setelah terbentuk dengan anticedent
yang disebut dengan consequence.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi
dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (Alwisol, 2011 : 322)
a.
Pembiasaan klasik, yang
ditandai dengan satu stimulus yang menghasilkan satu respon. Misalnya bayi
merespon suara keras dengan takut.
b.
Pembiasaan operan,
ditandai dengan adanya satu stimulus yang menghasilkan banyak respon.
Pengondisian operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat tingkah
laku. Sebaliknya penguatan negatif
bisa memperlemah tingkah laku. Munculnya
perilaku akan semakin kuat apabila diberikan penguatan positif dan akan
menghilang apabila dikenai hukuman.
c.
Peniruan, yaitu orang tidak
memerlukan reinforcement agar bisa memiliki
tingkah laku melainkan ia meniru. Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:
1)
Tingkah laku yang ditiru memang mampu untuk ditiru
oleh individu yang bersangkutan
2)
Tingkah laku yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai
publik positif.
Konseling Behavioral sebagai model
konseling yang memiliki pendekatan yang berorientas pada perubahan perilaku
menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Perilaku manusia
termasuk perilaku yang menyimpang terbentuk karena belajar dan perilaku itu
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Belajar yang dimaksud
disini adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari
latihan atau pengalaman.
Adapun
ciri-ciri konseling behavioral sebagaimana digambarkan oleh Eysenk adalah bahwa
konseling behavioral itu :
a. Didasarkan
pada teori yang dirumuskan secara tepat dan konsisten yang mengarah kepada
kesimpulan yang dapat diuji.
b. Berasal
dari penelaahnan eksperimental yang secara khusus direncanakan untuk menguji
teori-teori dan kesimpulan.
c. Memandam
symptom atau gejala sebagai respon bersyarat yang tidak adaptif.
d. Memandang
syimptom atau gejala itu sebagai bukti adanya kekeliruan hasil belajar.
e. Memandang
bahwa gejala-gejala atau symptom-symptom perilaku itu berdasarkan perbedaaan
individual yang terbentuk secara bersyarat dan otonom
f. Menganggap
penyembuhan gangguan neurotik itu sebagai pembentukan kebiasaan yang baru.
g. Penyembuhan
gelaja atau symptom itu langsung dengan jalan membasmi respon bersyarat yang
keliru, dan membentuk respon bersyarat yang diharapkan
h. Menganggap
bahwa pertalian pribadi tidaklah esensial bagi penyembuhan gangguan neurotik
sekalipun untuk hal-hal tertentu kadang-kadang diperlukan.
(Soeharto,
dkk, 2011 : 76)
Perubahan
dalam perilaku manusia harus diusahakan melalui proses belajar (learning) atau belajar kembali (relearning). Pandangan behaviorisme
menyatakan bahwa perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman
hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan, Kalau perilaku konseli ditinjau
dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi
kehidupannya (well-adjusted) atau
tidak tepat (maladjusted), harus
dikatakan bahwa baik tingkah laku salah merupakan hasil belajar. Karena tingkah
laku salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat
dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses
belajar. Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri (adjustment), hal
itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku yang salah.Oleh
karena itu, proses konseling dipandang sebagai proses belajar yang akan
menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku nyata. (Winkel, 2011 : 421).
Sehingga konseling behavioral merupakan
pendekatan yang berorientasi pada pengubahan perilaku menyimpang dengan
mengedepankan prinsip-prinsip belajar.
C.
Tujuan
Konseling
Tujuan umum konseling behavioral adalah menciptakan
kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap
tingkah laku adalah dipelajari (learned),
termasuk tingkah laku yang maladaptif (salah suai). Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus
dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Konseling
behavioral pada hakikatnya terdiri dari proses penghapusan hasil belajar yang
tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya
terdapat respon-respon yang layak, namun belum dipelajari. (Corey, 2010 : 199)
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah
membantu klien menolong diri sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat,
meningkatkan keterampilan sosial, memperbaiki tingkah laku yang menyimpang,
membantu klien mengembangkan sistem self management dan self control. (Sutarno,
2003 : 8)
Sehingga
tujuan dari konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif
melalui proses belajar dan lingkungan.
D.
Hubungan
Konselor– Klien
Wolpe (1958, 1969) menyatakan bahwa pembentukan
hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses
terapeutik. Peran konselor yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi
penguatan, para konselor tidak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan
impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin-mesin yang terprogram yang memaksakan teknik-teknik kepada klien
yang mirip robot. (Corey, 2010, 206)
Di dalam konseling behavioral harus ada keterlibatan
antara konselor dan klien baik dalam menyepakati tujuan, tingkah laku yang
diharapkan, maupun di dalam proses konseling. Unsur-unsur hubungan personal itu
adalah kehangatan, antusiasme, sikap permisif, penerimaan, empati, dan
wajar. (Sutarno, 2003 : 8)
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas seperti
kehangatan, antusiasme, sikap permisif, penerimaan, empati dan wajar memang
merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup bagi kemunculan
perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik.Maka
hubungan antara konselor dan klien ada beberapa hal yang harus dilakukan,
yaitu:
(1) Konselor
memahami dan menerima klien
(2) Keduanya
bekerja sama
(3) Konselor
memberikan bantuan dari arah yang diinginkan klien.
(Goldstein,
1973 : 220) (Corey, 2010 : 206)
E.
Proses
Konseling Behavioral
Dalam Modul PLPG oleh Prof. Dr. Soeharto,M.Pd dkk, hlm 75 bahwa konseling
behavioral mengikuti rangkaian langkah-langkah : a) penilaian/perkiraan (assessment),
(b) penetapan tujuan (goal setting), (c) penetapan teknik (technique
implementation),(d) evaluasi-pengakhiran (evaluation-terminitation) dan, (e)
umpan balik (feedback)
1. Tahap
Penilaian/Perkiraan (Assesment)
Yaitu
tahapan yang mensyaratkan konselor mampu untuk memahami karakteristik klien
beserta permasalahannya secara utuh (mencakup aktivitas nyata, perasaan,
nilai-nilai dan pemikirannya).Selain itu, konselor menolong klien untuk
mengemukakan keadaan yang sebenarnya yang dialami pada waktu itu. Assessment
ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi model mana yang akan dipilih sesuai
dengan perilaku yang ingin diubah. Kanfer dan Maslow mengemukakan bahwa
terdapat tujuh macam penilaian/perkiraan/analisis yakni :
a.
Analisis
perilaku yang diperlihatkan oleh klien, terutama perilaku yang spesifik.
b.
Analisis
situasi,yaitu analisis tentang situasi perilaku itu terjadi
c.
Analisis
motivasi perilaku itu terjadi
d.
Analisis
mengenaik sejarah perkembangan klien
e.
Analisis
mengenai kontrol diri klien
f.
Analisis mengnai
hubungan sosial klien
g.
Analisis tentang
lingkungan fisik-soial-budaya klien
Dengan
menganalisis hal-hal diatas, dapat lebih memahami masalah yang sedang dialami
klien. Informasi atau data dapat diperoleh dari klien sendiri atau dari orang
lain melalui :interview, kuesioner, surve dan jawaban dari penelitian, catatan
klien, skala bertingkat, dan observasi langsung perilaku klien. Sehubungan
dengan hal ini, maka konselor harus terampil dalam mengumpulkan berbagai
informasi/data klien, instrumen yang digunakan dan sumber data yang valid.
2.
Tahap Penetapan
tujuan (Goal setting)
Yaitu
antara konselor dan klien menetapkan tujuan konseling berdasarkan analisis dari
berbagai informasi/data. Ada tiga tahap dalam penetapan tujuan yakni : a)
menolong klien menentukan tujuan mana yng ingin dan mungkin dicapai, b)
mengatur tujuan, selain dapat dicapai juga dapat diukur, c) membagi tujuan ke
dalam tujuan-tujuan sementara agar mudah pelaksanaannya. Sedangkan kriteria
disarankan dalam merumuskan tujuan, adalah a) tujuan ini harus diingini oleh
klien, b) konselor harus menolong klien dalam mencpai tujuan itu, dan c) tujuan
itu harus mungkin untuk dicapai dan oleh karenanya harus dijabarkan dalam tindakan-tindakan
yang nyata.
3. Tahap Penerapan teknik (Techniques implementation)
Yaitu
penerapan keterampilan dan teknik-teknik konseling dalam upaya membantu klien
mengatasi masalahnya (merubah perilakunya). Bagaimana menentukan strategi
belajar mana yang akan dipakai dalam mencapai perilaku yang diinginkan.
Perilaku yang ingin diubah adakalanya sederhana tetapi adakalanya kompleks.Oleh
karenanya dimungkinkan menggunakan metode belajar yang bermaam-macam (multiple
methods of learning) untuk pengubahan perilaku yang kompleks.
Dalam
hal ini disamping harus menguasai konsep dasar konseling behavioral, konselor
harus benar-benar mampu menerapkan berbagai teknik konseling.
4.
Tahap evaluasi
dan terminasi (Evaluation and
Termination)
Yaitu
tahapan dimana seorang konselor mengetahui perubahan perilaku klien sebagai
tolok ukur proses konseling berlangsung. Yakni untuk melihat/mengetahui apa
yang telah diperbuat oleh klien, bagaimana kemajuan klien, bagaimana
keefektifan konseling, apakah teknik yang digunakan itu cocok atau tidak dan
apakah tujuan konseling tercapai ataukah tidak. Terminasi, yaitu pemberhentian
proses konseling yang bertujuan untuk:
a. Menguji apa yang dilakukan klien pada dekade
terakhir.
b. Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling
tambahan
c. Membantu klien mentransfer apa yang
dipelajari klien
d. Memberi jalan untuk memantau tingkah laku
klien secara berkelanjutan.
5.
Umpan balik (feed-back)
Konselor
dan klien memberi dan menerima informasi sebagai umpan balik. Informasi umpan
bali di sini diperlukan untuk memperbaiki proses konseling yang telah berjalan.
F.Teknik
Konseling Behavioral
Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan
dalam “Konseling Perilaku” Prof.Dr.Soeharto, M.Pd dkk dalam Modul PLPG
hlm 79 dengan ditambah teknik dalam Corey , 2010 dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi, menjelaskan
sebagai berikut :
1. Desensitisasi (desensitization)
Desensititasi berarti menenangkan ketegangan klien
dengan jalan mengajri/melatih klien untuk santai/rileks. Latihan rileks ini
bisa dilakukan dalam lima atau enam sesi. Apabila klien telah mampu melakukan
rileks, klien dibantu untuk menyusun urutan stimulus yang mencemaskan.Dalam hal
ini, klien diminta secara bertahap membayangkan stimulus mulai dari yang paling
kurang menemaskan hingga yang paling mencemaskan; klien dilatih untuk tetap
rileks disaat mengahadapi stimulus yang mencemaskan itu. Demikian seterusnya
hingga ia dapat membayangkan stimulus itu tanpa adanya kecemasan lagi. Jadi,
dengan teknik ini dimaksudkan agar klien dapat mengganti perasaan cemas
terhadap stimulus tertentu dengan perasaan rileks terhadap stimulus tertentu.(Soeharto,
dkk , 2011 hlm 79)
Menurut Gerald Corey dalam bukunya Konseling dan
Psikoterapi hlm 210bahwa
Desentisisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia,
tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada
penanganan ketakutan-ketakutan. Desentisisasi sistematik bisa diterapkan secara
efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi
interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang
digeneralisasi.
Sehingga dapat disimpulkan teknik desentisisasi
sistemik ini lebih membantu klien dalam terapi penyembuhan kecemasan dalam diri
klien yang lebih disebabkan oleh fobia-fobia maupun ketakutan klien dengan
mengajak klien untuk rileks membayangkan hal-hal yang membuat takut dari hal
yang paling mengerikan sampai hal yang kurang mengerikan. Contohnya, klien
fobia dengan balon, selalu ketakutan kalau melihat balon, lalu klien diajak
rileks membayangkan bentuk balon, kecemasan ditingkatkan yaitu dengan klien
diajak melihat balon dari kejauhan, ditingkatkan lagi dengan mengajak klien
memegang balon disini kecemasan klien meningkat tajam sampai akhirnya klien
diajak untuk meletuskan balon disini tingkat kecemasan klien sampai pada
puncaknya dengan memberikan klien stimulus yang berupa motivasi, musik atau air
minum.
2.
Latihan Asertif (Assertive training)
Latihan asertif merupakan latihan mempertahankan diri
akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan. Klien yang menunjukkan
rasa cemas,
diberi tahu bahwa dirinya mempunyai hak untuk mempertahankan diri.Ia silatih
untuk memelihara harga dirinya dengan berulang kali diberi latihan
mempertahankan diri. Lathian seperti ini memungkinkan klien dapat mengendalikan
lingkungannya. Apabila rangsangan dari
lingkungan tersebut terlalu kuat sehingga berat untuk mengendalikannya
dapat dilakukan dengan desensitisasi.
Menurut Corey, 2011 halm 213 latihan asertif akan
membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau
perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan berlebihan dan selalu mendorong
orang lain untuk mendahuluinya (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”
(4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-repons positif
lainnya (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran sendiri. (Soeharto, dkk , 2011 hlm 80)
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur
permainan peran. Suatu masalah yang khas yang bisa dikemukakan sebagai contoh
adalah kesulitan klien dalam menghadapi atasannya di kantor. Terapi kelompok
latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada
kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan
cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi
interpersonal.Fokusnya adalah memprakterkan melalui permainan peran,
kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehinggal individu-individu
diharapkan mampu mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana mengungkapkan
perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih luas dan terbuka
disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang
terbuka. (Corey, 2010: 215)
Sehingga dapat disimpulkan untuk latihan asertif ini
lebih membentuk tingkah laku baru dalam menghadapi hubungan dengan orang lain
dan menghapus tingkah laku yang lama yang memuat klien merasa cemas. Contohnya,
seorang siswa yang takut kalau dimarahi gurunya, pertama-tama klien memainkan
peran sebagai gurunya dan konselor sebagai siswanya, lalu konselor meniru cara
siswa dalam berpikir dan cara menghadapi gurunya. Lalu antara keduanya saling
bertukar peran, konselor sebagai gurunya dengan arahan klien untuk menunjukkan
peran guru secara realistis, sambil konselor melatih dan mengarahkan klien
dalam menghadapi gurunya. Maka secara perlahan akan terbentuk tingkah laku baru
pada diri klien.
3. Latihan seksual (Sexual
training)
Teknik ini dipergunakan untuk menghilangkan kecemasan
yang timbul akibat pergaulan dengan jenis kelamin lain. Kecemasan akibat dari
bergaul dengan dengan jenis kelamin lain mungkin kien menjadi impotent,
misalnya. Dalam hal ini, konselor secara bertahap menghilangkan perasaan cemas
itu. Untuk perawatan gangguan seperti ini Wolpe menyuruh kliennya untuk
bekerjasama dengan jenis kelamin lain untuk menghindari respon cemas. Kegiatan
ini dilakukan berulang kali hingga kecemasan itu sendiri berangsur-angsur
berkurang. Sejalan dengan ini Lazarus mengusulkan teknik lain yakni sejenis
desensitisasi untuk dicobakan kepada isteri yang takut diraba oleh suami. Dalam
hal ini, mulainya klien disuruh rileks dan membayangkan suami sekedar
mendekatinya. Apabila ia telah dapat tenang dan rileks di saat membayangkan hal
itu, tahap berikutnya klien diminta untuk tetap rileks. Latihan ini
diulang-ulang sampai tanpa adanya kecemasan.Sebaliknya kedua teknik itu
direkomendasikan dalam penggunaannya. (Soeharto, dkk , 2011 hlm 80).
Sehingga
pada teknik latihan seksual ini membentuk tingkah laku baru yang tidak takut
ataupun cemas ketika berada di dekat jenis kelamin lain. Teknik ini lebih
baiknya untuk pasangan suami istri yang
salah satu diantara keduanya masih memiliki ketakutan atau kecemasan saat
didekati oleh suami atau istrinya.
1.
Terapi Aversi (Aversion therapy)
Teknik ini digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan buuk, dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien
agar mengganti respons pada stimulus yang disenangi dengan kebalikan respons
terhadap stimulus tersebut, dibarengi stimulus yang merugikan atau tidak
mengenakan dirinya.Contoh, untuk menyembuhkan pria homoseks.Kepada pria
homoseks diperlihatkan foto pria telanjang sambil mengalitkan setrum listrik
pada kakinya yang tidak beralas.Dalam terapi ini, setiap kali kepada klien
diperlihatkan stimulus yang disenangi (foto pria telanjang) diikuti dengan rasa
sakit akibat di setrum listrik.Begitu terus setiap melihat foto pria telanjang
selalu dibarengi rasa sakit dan lama kelamaan tidak tertarik lagi pada pria.
(Soeharto dkk, 2011 : hlm 81)
Teknik- teknik pengkondisian
aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan
behavioral spesifik, melibatkan pengasosian tingkah laku yang tidak diinginkan
terhambat kemunculan.Stimulus-situmulus aversi biasanya berupa hukuman dengan
kejutan listrik atau pemberian ramua yang membuat mual.Kendali aversi bisa
melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk
hukuman.Contoh pelaksanaan penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan
ledakan kemarahan anak guna menghapus kebiasaan mengungkapkan ledakan kemarahan
pada si anak.Jika perkuatan ditarik, tingkah laku yang tidak diharapkan
cenderung berkurang frekuensinya. Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian
adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistik ketika tingkah laku
spesifik yang tidak diinginkan muncul. Butir yang penting adalah bahwa
prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons
maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh
tingkah laku alternatif yang adaptif dan
yang akan terbukti memperkuat dirinya (Corey, 2010 : hlm 216-217)
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terapi aversif ini lebih membentuk tingkah laku baru
yang lebih spesifik yang adaptif
dari yang semula maladaptif, atau tingkah laku yang sesuai aturan.
2.
Sensitisasi
Tertutup (covert sensitization)
Teknik ini dapat digunakan
untuk merawat perilaku menyimpang klien, misalnya suka minum-minuman keras atau
alkhohol.Caranya klien dengan rileks diminta membayangkan perilaku yang
disenangi itu yakni minum alkohol.Klien diminta membayangkan gelas berisi
alkohol itu hampir di bibirnya, lalu klien diminta membayangkan rasa muak dan
ingin muntah atau membayangkan kotoran dari muntah.Jadi, setiap membayangkan
perilaku yang disenangi (minum alkohol) selalu diikuti dengan membayangkan
sesuatu yang menjijikan. Itu dilakukan berulang-ulang, sehingga pada saatnya
tidak lagi tertarik untuk membayangkan perilaku itu dan tidak tertarik melakukannya
lagi
(Soeharto
dkk, 2011 : 81)
3.
Menghentikan
pikiran-pikiran buruk (thought stopping)
Teknik ini dapat digunakan
untuk menolong klien yang sangat cemas.Caranya, klien disuruh menutup matanya
dan membayangkan dirinya sedang mengatakan sesuatu yang mengganggu
dirinya.Misalnya, membayangkan dirinya berkata “saya jahat”. Jika klien memberi
tanda sedang membayangkan yang dicemaskannya (ia berkata pada dirinya :saya
jahat”), konselor segera berteriak dengan nyaring “berhenti”. Pikiran yang
tidak karuan itu segera diganti oleh teriakan konselor.Klien diminta untuk
melakukan latihan itu berulang-ulang hingga dirinya sanggup menghentikan
pikiran yang mengganggu itu. (Soeharto dkk, 2011 : 81)
4.
Imitasi (imitation) atau menemukan model (modeling)
Dalam penggunaan teknik ini,
klien disuruh seolah-olah klien mengalami sendiri atau melihat orang lain
mengalami, dan ia mengikuti apa yang dilakukan orang lein itu dalam
menanggulangi masalah. Klien meniru apa yang dilakukan orang lain (konselor).
Modeling ini dapat dilakukan dalam situasi yang sebenarnya, film, atau tape
recorder. Prinsip-prinsip dalam menggunakan modeling ini adalah sebagai berikut
:
a. Menemukan model mana yang menarik
perhatian klien
b. Merumuskan tujuan modeling
c. Memilih model yang masuk akal atau dapat
dipecaya
d. Merencanakan ukuran/tahapan modeling
e. Mencobakan modeling itu
f. Mendiskusikan reaksi klien dan saran-saran
dalam proses belajar
(Soeharto
dkk, 2011 : 81)
Dalam percontohan
individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah
laku sang model. Kecapakan-kecapakan sosial tertentu dapat diperoleh dengan
mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Bandura (1969)
menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa
pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain
berikut konsekuensi-konsekuensinya. (Corey, 2010: 222)
5.
Terapi Impolsif
dan Pembanjiran
Terapi implosif berasumsi
bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus
penghasil kecemasan. Jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu
situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak
muncul, maka
kecemasan akan tereduksi atau terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan
situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam.Dengan secara berulang-ulang
dan dimunculkan dalam seting terapi, dimana konsekuensi-konsekuensi yang
diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam
kehilangan daya menghasilkan kecemasannya dan penghindaran neurotic pun
terhapus. (Stamplf (1975) dalam Corey, 2011: 212)
Contoh, untuk menyembuhkan
seorang klien yang mengalami kecenderungan obsesi pada kebersihan.Klien mencuci
tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang berlebihan
terhadap kuman. Klien diminta untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang
paling ingin dihindarinya tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang
dihadapinya. Bayangan tersebut terus bergerak semakin dekat kepada ketakutan
yang paling kuat yang dialami klien serta klien diminta untuk membayangkan itu
berulang-ulang sampai kecemasan tersebut tidak lagi muncul pada diri
klien.Terapi ini adalah suatu metode langsung yang menantang klien untuk
menghadapi secara langsung mimpi-mimpi buruknya. (Stamplf (1975) dalam Corey, 2011: 212)
G.
Kecocokannya untuk di Terapkan di Indonesia
Teori konseling behavioral ini
dapat diterapkan di Indonesia karena manusia di Indonesia sama dengan manusia
lainnya, yaitu mempunyai hakikat sebagai manusia yang netral dari lahir, dan
karena adanya benturan oleh lingkungan maka tercipta perilaku-perilaku yang
positif maupun negatif. Teori ini berpegang pada prinsip-prinsip belajar dan
teori belajar bahwa perilaku yang baik atau yang adaptif dapat dibentuk
melalaui pembiasaan dan belajar serta didukung dengan lingkungan yang sesuai.
Manusia di Indonesia pun jika
memiliki perilaku yang menyimpang atau tidak adaptif dengan konseling
behavioral ini dapat diubah perilaku tersebut menjadi perilaku yang adaptif
melalui pembiasaan, belajar dan lingkungan yang baik disesuaikan norma dan adat
yang berlaku di dareah atau provinsi masing-masing, maka konselor perlu
mengetahui norma dan nilai setiap suku atau provinsi sehingga dalam membentuk
perilaku yang baru yang adaptif orang bagi orang Indonesia .
boleh minta sumber refferensinya?
ReplyDeleteNice
ReplyDelete