Tuesday, May 28, 2013

Teori Konseling Behavioral



PEMBAHASAN
A.      Prinsip Dasar
Menurut Dustin dan George dikutip dalam buku karangan George and Christiani Teory,Methods,and Processes of Counseling and Psychoterapy (1981 hal 108) yang menyatakan bahwa konseling behavioral berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis yaitu :
1.      Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk,bagus atau jelek. Manusia mempunya potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola bertingkah laku yang menjadi suatu ciri khas kepribadiannya.
2.      Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakuknya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
3.      Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti melalui usaha belajar yang baru.
4.      Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
(Winkle. 2012 : 420)

Selain itu secara ringkasnya bahwa konseling behavioral ini berpandangan bahwa manusia itu memiliki hal-hal berikut :
1.      Lahir dalam mempunyai bawaan netral, artinya manusia itu hak untuk berbuat baik/buruk/jahat.
2.      Lahir dengan membawa kebutuhan dasar dan dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan.
3.      Kepribadian manusia berkembang atas dasar interaksi dengan lingkungannya.
4.      Mempunyai tugas untuk berkembang melalui kegiatan belajar.
5.      Manusia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan.
(Winkle. 2012 : 420)

B.       Konsep Dasar
1.         Hakikat Tingkah Laku
Konseling behavioral berpandangan, bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya:
a.       Tingkah laku manusia diperoleh melalui belajar dan kepribadian adalah hasil proses belajar. Belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman
b.      Tingkah laku manusia tersusun dari respons-respons kognitif, motorik dan emosional terhadap stimulus yang datang baik dari internal maupun eksternal.
c.       Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh variabel-variabel kompetensi, setrategi dan susunan pribadi, harapan-harapan, nilai stimulus, sistem dan rencana pengaturan diri.
(Alwisol, 2011 : 320)

2.         Prinsip Belajar
Tingkah laku manusia dapat dilihat dari aspek kondisi yang menyertai atau akibat yang menyertai tingkah laku setelah terbentuk dengan anticedent yang disebut dengan consequence.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (Alwisol, 2011 : 322)
a.       Pembiasaan klasik, yang ditandai dengan satu stimulus yang menghasilkan satu respon. Misalnya bayi merespon suara keras dengan takut.
b.      Pembiasaan operan, ditandai dengan adanya satu stimulus yang menghasilkan banyak respon. Pengondisian operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya penguatan negatif bisa memperlemah tingkah laku. Munculnya perilaku akan semakin kuat apabila diberikan penguatan positif dan akan menghilang apabila dikenai hukuman.
c.       Peniruan, yaitu orang tidak memerlukan reinforcement agar bisa memiliki tingkah laku melainkan ia meniru. Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:
1)   Tingkah laku yang ditiru memang mampu untuk ditiru oleh individu yang bersangkutan
2)   Tingkah laku yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai publik positif.

Konseling Behavioral sebagai model konseling yang memiliki pendekatan yang berorientas pada perubahan perilaku menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Perilaku manusia termasuk perilaku yang menyimpang terbentuk karena belajar dan perilaku itu dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Belajar yang dimaksud disini adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.

Adapun ciri-ciri konseling behavioral sebagaimana digambarkan oleh Eysenk adalah bahwa konseling behavioral itu :
a.       Didasarkan pada teori yang dirumuskan secara tepat dan konsisten yang mengarah kepada kesimpulan yang dapat diuji.
b.      Berasal dari penelaahnan eksperimental yang secara khusus direncanakan untuk menguji teori-teori dan kesimpulan.
c.       Memandam symptom atau gejala sebagai respon bersyarat yang tidak adaptif.
d.      Memandang syimptom atau gejala itu sebagai bukti adanya kekeliruan hasil belajar.
e.       Memandang bahwa gejala-gejala atau symptom-symptom perilaku itu berdasarkan perbedaaan individual yang terbentuk secara bersyarat dan otonom
f.       Menganggap penyembuhan gangguan neurotik itu sebagai pembentukan kebiasaan yang baru.
g.      Penyembuhan gelaja atau symptom itu langsung dengan jalan membasmi respon bersyarat yang keliru, dan membentuk respon bersyarat yang diharapkan
h.      Menganggap bahwa pertalian pribadi tidaklah esensial bagi penyembuhan gangguan neurotik sekalipun untuk hal-hal tertentu kadang-kadang diperlukan.
(Soeharto, dkk, 2011 : 76)

Perubahan dalam perilaku manusia harus diusahakan melalui proses belajar (learning) atau belajar kembali (relearning). Pandangan behaviorisme menyatakan bahwa perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan, Kalau perilaku konseli ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya (well-adjusted) atau tidak tepat (maladjusted), harus dikatakan bahwa baik tingkah laku salah merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar. Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku yang salah.Oleh karena itu, proses konseling dipandang sebagai proses belajar yang akan menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku nyata. (Winkel, 2011 : 421).
Sehingga konseling behavioral merupakan pendekatan yang berorientasi pada pengubahan perilaku menyimpang dengan mengedepankan prinsip-prinsip belajar.


C.      Tujuan Konseling
Tujuan umum konseling behavioral adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif (salah suai). Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Konseling behavioral pada hakikatnya terdiri dari proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respon-respon yang layak, namun belum dipelajari. (Corey, 2010 : 199)
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan sosial, memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan sistem self management dan self control. (Sutarno, 2003 : 8)
Sehingga tujuan dari konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif melalui proses belajar dan lingkungan.

D.      Hubungan Konselor– Klien
Wolpe (1958, 1969) menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Peran konselor yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi penguatan, para konselor tidak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin-mesin yang terprogram yang memaksakan teknik-teknik kepada klien yang mirip robot. (Corey, 2010, 206)
Di dalam konseling behavioral harus ada keterlibatan antara konselor dan klien baik dalam menyepakati tujuan, tingkah laku yang diharapkan, maupun di dalam proses konseling. Unsur-unsur hubungan personal itu adalah kehangatan, antusiasme, sikap permisif, penerimaan, empati, dan wajar.  (Sutarno, 2003 : 8)
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas seperti kehangatan, antusiasme, sikap permisif, penerimaan, empati dan wajar memang merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik.Maka hubungan antara konselor dan klien ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:
(1)   Konselor memahami dan menerima klien
(2)   Keduanya bekerja sama
(3)   Konselor memberikan bantuan dari arah yang diinginkan klien.
(Goldstein, 1973 : 220) (Corey, 2010 : 206)

E.       Proses Konseling Behavioral
Dalam Modul PLPG oleh Prof. Dr. Soeharto,M.Pd dkk, hlm 75 bahwa konseling behavioral mengikuti rangkaian langkah-langkah : a) penilaian/perkiraan (assessment), (b) penetapan tujuan (goal setting), (c) penetapan teknik (technique implementation),(d) evaluasi-pengakhiran (evaluation-terminitation) dan, (e) umpan balik (feedback)
1.    Tahap  Penilaian/Perkiraan (Assesment)
Yaitu tahapan yang mensyaratkan konselor mampu untuk memahami karakteristik klien beserta permasalahannya secara utuh (mencakup aktivitas nyata, perasaan, nilai-nilai dan pemikirannya).Selain itu, konselor menolong klien untuk mengemukakan keadaan yang sebenarnya yang dialami pada waktu itu. Assessment ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi model mana yang akan dipilih sesuai dengan perilaku yang ingin diubah. Kanfer dan Maslow mengemukakan bahwa terdapat tujuh macam penilaian/perkiraan/analisis yakni :
a.       Analisis perilaku yang diperlihatkan oleh klien, terutama perilaku yang spesifik.
b.      Analisis situasi,yaitu analisis tentang situasi perilaku itu terjadi
c.       Analisis motivasi perilaku itu terjadi
d.      Analisis mengenaik sejarah perkembangan klien
e.       Analisis mengenai kontrol diri klien
f.       Analisis mengnai hubungan sosial klien
g.      Analisis tentang lingkungan fisik-soial-budaya klien
Dengan menganalisis hal-hal diatas, dapat lebih memahami masalah yang sedang dialami klien. Informasi atau data dapat diperoleh dari klien sendiri atau dari orang lain melalui :interview, kuesioner, surve dan jawaban dari penelitian, catatan klien, skala bertingkat, dan observasi langsung perilaku klien. Sehubungan dengan hal ini, maka konselor harus terampil dalam mengumpulkan berbagai informasi/data klien, instrumen yang digunakan dan sumber data yang valid.
2.    Tahap Penetapan tujuan (Goal setting)
Yaitu antara konselor dan klien menetapkan tujuan konseling berdasarkan analisis dari berbagai informasi/data. Ada tiga tahap dalam penetapan tujuan yakni : a) menolong klien menentukan tujuan mana yng ingin dan mungkin dicapai, b) mengatur tujuan, selain dapat dicapai juga dapat diukur, c) membagi tujuan ke dalam tujuan-tujuan sementara agar mudah pelaksanaannya. Sedangkan kriteria disarankan dalam merumuskan tujuan, adalah a) tujuan ini harus diingini oleh klien, b) konselor harus menolong klien dalam mencpai tujuan itu, dan c) tujuan itu harus mungkin untuk dicapai dan oleh karenanya harus dijabarkan dalam tindakan-tindakan yang nyata.
3.    Tahap Penerapan teknik (Techniques implementation)
Yaitu penerapan keterampilan dan teknik-teknik konseling dalam upaya membantu klien mengatasi masalahnya (merubah perilakunya). Bagaimana menentukan strategi belajar mana yang akan dipakai dalam mencapai perilaku yang diinginkan. Perilaku yang ingin diubah adakalanya sederhana tetapi adakalanya kompleks.Oleh karenanya dimungkinkan menggunakan metode belajar yang bermaam-macam (multiple methods of learning) untuk pengubahan perilaku yang kompleks.
Dalam hal ini disamping harus menguasai konsep dasar konseling behavioral, konselor harus benar-benar mampu menerapkan berbagai teknik konseling.
4.    Tahap evaluasi dan terminasi (Evaluation and Termination)
Yaitu tahapan dimana seorang konselor mengetahui perubahan perilaku klien sebagai tolok ukur proses konseling berlangsung. Yakni untuk melihat/mengetahui apa yang telah diperbuat oleh klien, bagaimana kemajuan klien, bagaimana keefektifan konseling, apakah teknik yang digunakan itu cocok atau tidak dan apakah tujuan konseling tercapai ataukah tidak. Terminasi, yaitu pemberhentian proses konseling yang bertujuan untuk:
a.   Menguji apa yang dilakukan klien pada dekade terakhir.
b.   Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan
c.   Membantu klien mentransfer apa yang dipelajari klien
d.   Memberi jalan untuk memantau tingkah laku klien secara berkelanjutan.
5.    Umpan balik (feed-back)
Konselor dan klien memberi dan menerima informasi sebagai umpan balik. Informasi umpan bali di sini diperlukan untuk memperbaiki proses konseling yang telah berjalan.

F.Teknik Konseling Behavioral
Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam “Konseling Perilaku”  Prof.Dr.Soeharto, M.Pd dkk dalam Modul PLPG hlm 79 dengan ditambah teknik dalam Corey , 2010 dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi, menjelaskan sebagai berikut :
1.      Desensitisasi (desensitization)
Desensititasi berarti menenangkan ketegangan klien dengan jalan mengajri/melatih klien untuk santai/rileks. Latihan rileks ini bisa dilakukan dalam lima atau enam sesi. Apabila klien telah mampu melakukan rileks, klien dibantu untuk menyusun urutan stimulus yang mencemaskan.Dalam hal ini, klien diminta secara bertahap membayangkan stimulus mulai dari yang paling kurang menemaskan hingga yang paling mencemaskan; klien dilatih untuk tetap rileks disaat mengahadapi stimulus yang mencemaskan itu. Demikian seterusnya hingga ia dapat membayangkan stimulus itu tanpa adanya kecemasan lagi. Jadi, dengan teknik ini dimaksudkan agar klien dapat mengganti perasaan cemas terhadap stimulus tertentu dengan perasaan rileks terhadap stimulus tertentu.(Soeharto, dkk , 2011 hlm 79)
Menurut Gerald Corey dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi hlm 210bahwa Desentisisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan. Desentisisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi.
Sehingga dapat disimpulkan teknik desentisisasi sistemik ini lebih membantu klien dalam terapi penyembuhan kecemasan dalam diri klien yang lebih disebabkan oleh fobia-fobia maupun ketakutan klien dengan mengajak klien untuk rileks membayangkan hal-hal yang membuat takut dari hal yang paling mengerikan sampai hal yang kurang mengerikan. Contohnya, klien fobia dengan balon, selalu ketakutan kalau melihat balon, lalu klien diajak rileks membayangkan bentuk balon, kecemasan ditingkatkan yaitu dengan klien diajak melihat balon dari kejauhan, ditingkatkan lagi dengan mengajak klien memegang balon disini kecemasan klien meningkat tajam sampai akhirnya klien diajak untuk meletuskan balon disini tingkat kecemasan klien sampai pada puncaknya dengan memberikan klien stimulus yang berupa motivasi, musik atau air minum.
2.    Latihan Asertif (Assertive training)
Latihan asertif merupakan latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan. Klien yang menunjukkan rasa cemas, diberi tahu bahwa dirinya mempunyai hak untuk mempertahankan diri.Ia silatih untuk memelihara harga dirinya dengan berulang kali diberi latihan mempertahankan diri. Lathian seperti ini memungkinkan klien dapat mengendalikan lingkungannya. Apabila rangsangan dari  lingkungan tersebut terlalu kuat sehingga berat untuk mengendalikannya dapat dilakukan dengan desensitisasi.
Menurut Corey, 2011 halm 213 latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak” (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-repons positif lainnya (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri. (Soeharto, dkk , 2011 hlm 80)
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Suatu masalah yang khas yang bisa dikemukakan sebagai contoh adalah kesulitan klien dalam menghadapi atasannya di kantor. Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal.Fokusnya adalah memprakterkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehinggal individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih luas dan terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka. (Corey, 2010: 215)
Sehingga dapat disimpulkan untuk latihan asertif ini lebih membentuk tingkah laku baru dalam menghadapi hubungan dengan orang lain dan menghapus tingkah laku yang lama yang memuat klien merasa cemas. Contohnya, seorang siswa yang takut kalau dimarahi gurunya, pertama-tama klien memainkan peran sebagai gurunya dan konselor sebagai siswanya, lalu konselor meniru cara siswa dalam berpikir dan cara menghadapi gurunya. Lalu antara keduanya saling bertukar peran, konselor sebagai gurunya dengan arahan klien untuk menunjukkan peran guru secara realistis, sambil konselor melatih dan mengarahkan klien dalam menghadapi gurunya. Maka secara perlahan akan terbentuk tingkah laku baru pada diri klien.
3.    Latihan seksual (Sexual training)
Teknik ini dipergunakan untuk menghilangkan kecemasan yang timbul akibat pergaulan dengan jenis kelamin lain. Kecemasan akibat dari bergaul dengan dengan jenis kelamin lain mungkin kien menjadi impotent, misalnya. Dalam hal ini, konselor secara bertahap menghilangkan perasaan cemas itu. Untuk perawatan gangguan seperti ini Wolpe menyuruh kliennya untuk bekerjasama dengan jenis kelamin lain untuk menghindari respon cemas. Kegiatan ini dilakukan berulang kali hingga kecemasan itu sendiri berangsur-angsur berkurang. Sejalan dengan ini Lazarus mengusulkan teknik lain yakni sejenis desensitisasi untuk dicobakan kepada isteri yang takut diraba oleh suami. Dalam hal ini, mulainya klien disuruh rileks dan membayangkan suami sekedar mendekatinya. Apabila ia telah dapat tenang dan rileks di saat membayangkan hal itu, tahap berikutnya klien diminta untuk tetap rileks. Latihan ini diulang-ulang sampai tanpa adanya kecemasan.Sebaliknya kedua teknik itu direkomendasikan dalam penggunaannya. (Soeharto, dkk , 2011 hlm 80).
Sehingga pada teknik latihan seksual ini membentuk tingkah laku baru yang tidak takut ataupun cemas ketika berada di dekat jenis kelamin lain. Teknik ini lebih baiknya  untuk pasangan suami istri yang salah satu diantara keduanya masih memiliki ketakutan atau kecemasan saat didekati oleh suami atau istrinya.
1.      Terapi Aversi (Aversion therapy)
Teknik ini digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buuk, dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengganti respons pada stimulus yang disenangi dengan kebalikan respons terhadap stimulus tersebut, dibarengi stimulus yang merugikan atau tidak mengenakan dirinya.Contoh, untuk menyembuhkan pria homoseks.Kepada pria homoseks diperlihatkan foto pria telanjang sambil mengalitkan setrum listrik pada kakinya yang tidak beralas.Dalam terapi ini, setiap kali kepada klien diperlihatkan stimulus yang disenangi (foto pria telanjang) diikuti dengan rasa sakit akibat di setrum listrik.Begitu terus setiap melihat foto pria telanjang selalu dibarengi rasa sakit dan lama kelamaan tidak tertarik lagi pada pria. (Soeharto dkk, 2011 : hlm 81)
Teknik- teknik pengkondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral spesifik, melibatkan pengasosian tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculan.Stimulus-situmulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramua yang membuat mual.Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.Contoh pelaksanaan penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan anak guna menghapus kebiasaan mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak.Jika perkuatan ditarik, tingkah laku yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekuensinya. Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistik ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul. Butir yang penting adalah bahwa prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif  dan yang akan terbukti memperkuat dirinya (Corey, 2010 : hlm 216-217)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi aversif ini lebih membentuk tingkah laku baru yang lebih spesifik yang adaptif dari yang semula maladaptif, atau tingkah laku yang sesuai aturan.
2.      Sensitisasi Tertutup (covert sensitization)
Teknik ini dapat digunakan untuk merawat perilaku menyimpang klien, misalnya suka minum-minuman keras atau alkhohol.Caranya klien dengan rileks diminta membayangkan perilaku yang disenangi itu yakni minum alkohol.Klien diminta membayangkan gelas berisi alkohol itu hampir di bibirnya, lalu klien diminta membayangkan rasa muak dan ingin muntah atau membayangkan kotoran dari muntah.Jadi, setiap membayangkan perilaku yang disenangi (minum alkohol) selalu diikuti dengan membayangkan sesuatu yang menjijikan. Itu dilakukan berulang-ulang, sehingga pada saatnya tidak lagi tertarik untuk membayangkan perilaku itu dan tidak tertarik melakukannya lagi
(Soeharto dkk, 2011 : 81)
3.      Menghentikan pikiran-pikiran buruk (thought stopping)
Teknik ini dapat digunakan untuk menolong klien yang sangat cemas.Caranya, klien disuruh menutup matanya dan membayangkan dirinya sedang mengatakan sesuatu yang mengganggu dirinya.Misalnya, membayangkan dirinya berkata “saya jahat”. Jika klien memberi tanda sedang membayangkan yang dicemaskannya (ia berkata pada dirinya :saya jahat”), konselor segera berteriak dengan nyaring “berhenti”. Pikiran yang tidak karuan itu segera diganti oleh teriakan konselor.Klien diminta untuk melakukan latihan itu berulang-ulang hingga dirinya sanggup menghentikan pikiran yang mengganggu itu. (Soeharto dkk, 2011 : 81)
4.      Imitasi (imitation) atau menemukan model (modeling)
Dalam penggunaan teknik ini, klien disuruh seolah-olah klien mengalami sendiri atau melihat orang lain mengalami, dan ia mengikuti apa yang dilakukan orang lein itu dalam menanggulangi masalah. Klien meniru apa yang dilakukan orang lain (konselor). Modeling ini dapat dilakukan dalam situasi yang sebenarnya, film, atau tape recorder. Prinsip-prinsip dalam menggunakan modeling ini adalah sebagai berikut :
a.   Menemukan model mana yang menarik perhatian  klien
b.   Merumuskan tujuan modeling
c.   Memilih model yang masuk akal atau dapat dipecaya
d.   Merencanakan ukuran/tahapan modeling
e.   Mencobakan modeling itu
f.    Mendiskusikan reaksi klien dan saran-saran dalam proses belajar
(Soeharto dkk, 2011 : 81)
Dalam percontohan individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Kecapakan-kecapakan sosial tertentu dapat diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. (Corey, 2010: 222)
5.      Terapi Impolsif dan Pembanjiran
Terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan. Jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan akan tereduksi atau terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam.Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan dalam seting terapi, dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya dan penghindaran neurotic pun terhapus. (Stamplf (1975) dalam Corey, 2011: 212)
Contoh, untuk menyembuhkan seorang klien yang mengalami kecenderungan obsesi pada kebersihan.Klien mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap kuman. Klien diminta untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang paling ingin dihindarinya tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapinya. Bayangan tersebut terus bergerak semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami klien serta klien diminta untuk membayangkan itu berulang-ulang sampai kecemasan tersebut tidak lagi muncul pada diri klien.Terapi ini adalah suatu metode langsung yang menantang klien untuk menghadapi secara langsung mimpi-mimpi buruknya. (Stamplf (1975) dalam Corey, 2011: 212)

G.    Kecocokannya untuk di Terapkan di Indonesia
Teori konseling behavioral ini dapat diterapkan di Indonesia karena manusia di Indonesia sama dengan manusia lainnya, yaitu mempunyai hakikat sebagai manusia yang netral dari lahir, dan karena adanya benturan oleh lingkungan maka tercipta perilaku-perilaku yang positif maupun negatif. Teori ini berpegang pada prinsip-prinsip belajar dan teori belajar bahwa perilaku yang baik atau yang adaptif dapat dibentuk melalaui pembiasaan dan belajar serta didukung dengan lingkungan  yang sesuai.
Manusia di Indonesia pun jika memiliki perilaku yang menyimpang atau tidak adaptif dengan konseling behavioral ini dapat diubah perilaku tersebut menjadi perilaku yang adaptif melalui pembiasaan, belajar dan lingkungan yang baik disesuaikan norma dan adat yang berlaku di dareah atau provinsi masing-masing, maka konselor perlu mengetahui norma dan nilai setiap suku atau provinsi sehingga dalam membentuk perilaku yang baru yang adaptif orang bagi orang Indonesia .

2 comments: