Thursday, May 30, 2013

Teori Client-Centered

A.    Prinsip Dasar
Rogers (dalam Corey, 1988) memandang manusia sebagai individu yang tersosialisasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk berfungsi sepenuhnya, serta memiliki kebaikan yang positif. Dengan asumsi tersebut pada dasarnya manusia dapat dipercayai, kooperatif dan konstruktif, tidak perlu ada pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya. Implikasi dari pandangan filosofis seperti ini, Rogers menganggap bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju ke kondisi psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses terapi kepada klien. Oleh karena itu konseling client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan, sebab klien merupakan orang yang paling tahu tentang dirinya, dan pantas menemukan tingkah laku yang pantas bagi dirinya.
Pandangan Rogers tentang manusia adalah positif, sosial, berpandangan ke depan dan realistis, baik, dan dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik. Aktualisasi diri dipandang sebagai pengalaman kemanusiaan yang paling berarti, sehingga dengan mengaktualisasikan dirinya, menusia dapat menikmati segala aspek kehidupannya.Tingkah laku manusia diorganisasikan secara keseluruhan di sekitar tendensi manusia berbuat sesuatu.Pola perilaku manusia ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara respon yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak efektif (menghasilkan rasa tidak senang).Di samping itu pada dasarnya manusia itu kooperatif, konstruktif, dapat dipercaya, memiliki tendensi dan usaha mengaktualisasikan dirinya, berprestasi, dapat mempertahankan dirinya sendiri, mampu memilih tujuan yang benar dalam keadaan bebas dari ancaman.Pada sisi lain Rogers memandang manusia adalah sebagai makhluk sosial, berkembang, rasional dan realistis. Manusia adalah subyek yang utuh, aktif, dan unik.

B.     Konsep Dasar
Rogers mengungkapkan bahwa terdapat tiga unsur yang sangat esensial dalam hubungannya dengan kepribadian, yaitu:
1.  Self, merupakan persepsi dan nilai-nilai individu tentang dirinya atau hal-hal lain yang berhubungan dengan dirinya. Suatu konsepsi yang merupakan persepsi mengenai dirinya “I”atau “me” dan persepsi hubungan dirinya dengan orang lain dengan segala aspek kehidupannya. Self  meliputi dua hal, yaitu real self (gambaran sebenarnya tentang dirinya yang nyata) dan ideal self (apa yang menjadi kesukaan, harapan, atau yang idealisasi tentang dirinya).
2.  Medan fenomenal,  merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya baik yang disadari maupun tidak disadari. Pengalaman ada yang bersifat internal yaitu persepsi mengenai dirinya sendiri dan pengalaman yang bersifat eksternal yaitu persepsi mengenai dunia luarnya. Kita dapat memahami medan fenomenal seseorang hanya dengan menggunakan kerangka pemikiran internal individu (internal frame of reference).
3. Organisme, merupakan keseluruhan totalitas individu, yang meliputi pemikiran, perilaku dan keadaan fisik. Organisme mempunyai kecenderungan dan dorongan dasar, yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan dan mengembangkan diri.
Karakteristik perilaku bermasalah adalah: pengasingan yaitu orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensif, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya (Hansen dkk., 1982).
Rogers tidak mengemukakan bahwa teori terpusat pada pribadi sebagai pendekatan pada konseling yang pasti dan komplit. Dia berharap orang lain akan memandang teorinya sebagai suatu perangkat prinsip yang tentatif yang berkaitan dengan proses konseling itu berkembang, bukan sebagai dogma. Rogers dan Wood melukiskan karakteristik yang membedakan pendekatan terpusat pada pribadi dengan model yang lain. Adaptasi dari deskripsi itu adalah sebagai berikut.
Pendekatan terpusat pada pribadi difokuskan pada pertanggung jawaban dan kapasitas klien untuk menemukan cara agar bisa menghadapi realitas. Klien, yang paling tahu tentang dirinya, adalah yang harus menemukan perilaku yang lebih tepat baginya yang didasarkan pada kesadaran diri yang sedang tumbuh.
Pendekatan itu menekankan dunia fenomena si klien. Dengan usaha untuk bisa mengantisipasi kerangka referensi internal si klien maka konselor menaruh kepeduliannya terutama pada persepsi klien akan dirinya dan dunia.
Prinsip psikoterapi yang sama berlaku bagi semua klien “normal”, “neurotik”, dan “psikotik”. Berdasarkan pandangan bahwa usaha untuk bisa bergerak ke kedewasaan psikologi berakar kuat pada sifat dasar manusia, maka prinsip pendekatan terpusat pada pribadi berlaku bagi mereka yang berfungsi pada tingkat yang relatif normal dan juga pada mereka yang mengalami salah penyesuaian psikologis pada tingkat yang lebih tinggi.
Menurut pendekatan terpusat pada pribadi psikoterapi hanyalah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertumbuhan psikoterapik dalam dan lewat hubungan dengan orang lain yang menolongnya berbuat sesuatu yang tidak bisa dia perbuat sendirian. Psikoterapi merupakan hubungan dengan konselor yang kongruen (menjadikan perilaku dan pengungkapan eksternal berpasangan dengan perasaan dan pikiran internal), yang mau menerima dan empati memberikan fasilitas kepada klien untuk bisa mengalami perubahan terapeutik.Teori terpusat pada pribadi mengatakan bahwa fungsi terapis adalah untuk segera hadir dan bisa dihubungi oleh klien dan untuk berfokus pada pengalaman disini dan sekarang.
Mungkin melebihi pendekatan pada psikoterapi/konseling yang manapun, terapi terpusat pada pribadi telah mengembangkan lewat penelitian suatu proses dan hasil akhir dari terapi. Teorinya tidaklah tertutup melainkan telah tumbuh melalui observasi konseling selama bertahun-tahun dan terus berubah pada saat penelitian baru mendapatkan pemahaman tentang sifat dasar manusia yang terus bertambah dan proses terapeutiknya.
Jadi, pendekatan terpusat pada pribadi bukanlah seperangkat teknik ataupun dogma. Dengan berakar pada suatu perangkat sikap dan kepercayaan yang didemonstrasikan oleh terapis maka terapi ini bisa dikarakterisasikan sebagai cara keberadaan dan sebagai perjalanan yang sama-sama mengungkapkan kemanusiaan masing-masing dan saling berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

C.    Tujuan Konseling
Menurut pandangan Rogers tujuan konseling tidak hanya menyelesaikan problema. Melainkan, membantu klien dalam proses pertumbuhannya sehingga dia akan bisa lebih baik menangani problema yang dihadapinya sekarang dan yang akan mereka hadapi di masa depan.
Rogers menulis bahwa orang yang masuk ke kegiatan konseling sering bertanya: “Bagaimana saya bisa menemukan pribadi saya yang sesungguhnya? Bagaimana saya bisa menjadi orang sedemikian saya dambakan? Bagaimana saya bisa ada di belakang penampilan semu saya dan menjadi diriku sendiri?”.Tujuan yang dianggap penting oleh konselor adalah bisa menciptakan suasana yang kondusif yang bisa menolong si individu menjadi orang yang berfungsi secara penuh.
Rogers melukiskan orang yang menjadi semakin teraktualisasi sebagai yang memiliki (1) keterbukaan terhadap pengalaman, (2) percaya pada diri sendiri, (3) sumber evaluasi internal, dan (4) kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut. Mendorong terciptanya karakteristik ini merupakan tujuan dasar dari pendekatan terpusat pada pribadi.
Salah satu alasan mengapa klien menginginkan konseling adalah rasa ketidakberdayaan yang mendasar, tidak memiliki kekuasaan, dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau secara efektif mengarahkan hidupnya. Mereka berharap bisa menemukan “jalan” setelah mendapatkan pengajaran dari konselor. Namun, di dalam kerangka terpusat pada pribadi, mereka akan segera tahu bahwa dalam kaitan itu mereka bisa bertanggung jawab sendiri dan bahwa mereka bisa belajar untuk bisa lebih merdeka dengan menggunakan hubungan itu bisa lebih baik memahami diri sendiri.

D.    Hubungan Konselor-Klien
Dalam pandangan Rogers, konselor lebih banyak berperan sebagai partner klien dalam memecahkan masalahnya.Dalam hubungan konseling, konselor ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oelh klien.
Agar peran ini dapat dipertahankan dan tujuan konseling dapat dicapai, maka konselor perlu menciptakan iklim atau kondisi yang mampu menumbuhkan hubungan konseling. Kondisi konseling ini menurut Rogers (1961), satu keharusan dan cukup memadai untuk pertumbuhan, sehingga dia menyebutnya sebagai necessary and sufficieb=nt conditions for therapeutic change. Kondisi-kondisi yang perlu diciptakan itu adalah sebagai berikut.
1.    Ada dua orang dalam konteks psikologi.
2.    Orang pertama, yang kita beri nama klien, mengalami hal yang tidak kongruen.
3.  Orang kedua, yang kita beri nama konselor, adalah orang yang kongruen dalam interaksi hubungan itu.
4.   Konselor menaruh perhatian positif yaitu betul-betul peduli terhadap klien.
5.  Konselor mengalami pemahaman secara empati terhadap ukuran internal dengan mana klien membentuk sikap atau keputusan dan usaha untuk mengkomunikasikannya dengan klien.
6.  Yang dikomunikasikan kepada klien yang berupa pemahaman empati dan perhatian positif tanpa syarat itu diterima dalam tingkat yang minim.
Dari perspektif Rogers hubungan konselor/klien berciri kesamaan derajat, oleh karena konselor tidak merahasiakan pengetahuannya ataupun berusaha menjadikan proses konseling suatu mistik. Proses perubahan dalam diri klien sebagian besar bergantung pada kualitas kesamaan derajat hubungan itu. Karena pengalaman klien melihat terapis mau mendengarkan dengan sikap terbuka kepada mereka, sedikit demi sedikit bisa belajar bagaimana dengan hati terbuka mereka mau mendengarkan pada diri sendiri.Oleh karena mereka mengetahui konselor mau peduli dan menghargai mereka (bahkan aspek yang selama ini disembunyikan dan dianggap negatif), mereka mulai tahu harga dan nilai dalam diri mereka sendiri.Oleh karena mereka mengalami kenyataan dari konselor, mereka membuang banyak dari kepura-puraan mereka dan bersikap wajar tehadap diri mereka sendiri dan terhadap konselor.
Tiga ciri pribadi, atau sikap konselor merupakan bagian sentral dari hubungan konseling: (1) kongruensi, atau keaslian, (2) perhatian positif tidak bersyarat, (3) pemahaman empati yang akurat. Dari ketiga ciri itu, kongruensi merupakan yang paling penting.Kongruensi mengandung arti bahwa konseling adalah riil; yaitu mereka itu jujur, terintegrasi, dan otentik selama berlangsungnya kegiatan konseling. Mereka tidak memakai kedok, sedangkan apa yang mereka alami di hati dan apa yang diungkapkan keluar cocok, dan mereka bisa secara terbuka mengungkapkan perasaan dan sikap yang ada dalam hubungannya dengan klien. Konselor yang otentik secara spontan maupun yang negatif, yang mengalir dalam dirinya. Dengan mengungkapkan (dan menerima) perasaan negatif apapun, mereka bisa menjadi fasilitator terjadinya komunikasi yang jujur dengan klien.
Melalui keontetikan konselor berlaku sebagai model dari manusia yang berjuang menuju realitas yang lebih besar. Oleh karena kongruen maka diperlukan pengungkapan amarah, frustasi, senang kepada seseorang/sesuatu untuk menarik perhatian, kepedulian, kebosanan, terganggu, dan sederetan perasaan yang lain dalam hubungan itu. Ini tidak berarti bahwa konselor seyogyanya secara positif berbagi seluruh perasaan dengan klien, oleh karena pengungkapan diri juga harus pada tempatnya.Juga tidak berarti bahwa klien merupakan penyebab konselor merasa bosan atau marah. Jebakan yang akan dijumpai adalah bahwa konselor akan berusaha terlalu keras untuk menjadi jujur. Berbagi karena orang mengira bahwa itu akan baik bagi klien, tanpa secara sepenuh hati tergerak untuk mengungkapkan sesuatu yang dianggap ungkapan pribadi, bisa berarti tidak kongruen. Namun, konselor harus memikul tanggung jawab terhadap perasaan mereka sendiri dan menggali perasaan klien yang tetap saja tidak berubah yang merupakan batu ganjalan untuk mampu hadir  bersama klien secara penuh. Tentu saja sasaran konseling bukanlah untuk membuat konselor terus-menerus membicarakan perasaannya dengan klien. Terapi terpusat pada pribadi juga menekankan bahwa konseling akan terkekang kalau konselor mengalami suatu perasaan tertentu terhadap klien tetapi berbuat lain dari yang telah dirasakan itu. Oleh karena itu, apabila konselor tidak menyukai ataupun tidak menyetujui si klien tetapi berbuat seolah-olah menerima keadaan klien, maka konseling tidak akan berjalan.
Konsep Rogers tentang kongruen tidak berarti bahwa hanya konselor yang secara penuh mengaktualisasikan diri yang bisa efektif dalam menjalankan konseling. Oleh karena konselor itu juga manusia biasa maka mereka tidak bisa diharapkan untuk bisa otentik secara penuh. Model terpusat pada pribadi berasumsi bahwa apabila konselor kongruen dalam hubungannya dengan klien, maka proses konseling pun terjadi. Kongruensi berada dalam kontinum dan bukan berdasar pada semua atau tidak sama sekali, seperti yang terjadi pada ketiga ciri itu.
Sikap positif yang tidak bersyarat dan mau menerima. Sikap kedua yang diperlukan konselor untuk berkomunikasi dengan klien adalah kepedulian yang mendalam dan ikhlas terhadapnya sebagai pribadi.Kepedulian itu tidak dikotori oleh evaluasi atau penilaian baik ayau buruk terhadap perasaan, pandangan serta perilaku klien.Konselor menghargai dan dengan hangat menerima klien tanpa mentyertakan persyaratan.Bukan sikap seperti “Saya mau menerima asal…” melainkan salah satu dari sikap “Saya menerima Anda seperti adanya”. Dalam komunikasinya konselor mengambil sikap bahwa mereka menghargai klien seperti apa adanya dan bahwa si klien bebas untuk memiliki perasaan dan pengalaman tanpa resiko tidak bisa diterima oleh konselor. Bisa diterima merupakan pengakuan hak klien untuk memiliki perasaan; ini bukan persetujuan terhadap semua perilaku. Semua perilaku yang terbuka  tidak perlu harus disetujui atau pun diterima.
Hal yang juga penting adalah bahwa kepedulian konselor itu tanpa pamrih. Apabila kepedulian itu bersumber dari kebutuhan mereka untuk bisa disukai atau dihargai maka perubahan yang konstruktif dalam diri klien menjadi terhambat.
Salah satu implikasi dari penekanan terhadap penerimaan adalah bahwa konselor yang tidak begitu respek terhadap klien maupun ketidaksenangan yang aktif atau muak bisa mengantisipasi bahwa kerjanya nanti tidak akan membuahkan sesuatu. Klien akan merasakan tidak adanya perhatian ini dan menjadi makin bersikap defensif.
Pemahaman empati yang akurat. Salah satu dari tugas utama konselor adalah memaklumi pengalaman dan perasan klien secara sensitif dan akurat pada saat semuanya itu diungkapkan dalam saat-saat interaksi dalam sesi konseling. Konselor berusaha keras untuk menghayati pengalaman subyektif klien, terutama yang terjadi di sini dan sekarang. Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat klien untuk lebih dekat dengan dirinya sendiri, merasakan lebih mendalam dan intens, dan untuk mengenali dan menguraikan ketidak-kongruensi-an yang ada di dalam dirinya.
Pemahaman empati berarti bahwa konselor akan merasakan apa yang dirasakan klien seolah-olah yang mereka rasakan sendiri tanpa harus terhanyut kepada perasaan itu. Dengan secara bebas bergerak dalam dunia seperti yang dialami klien konselor tidak hanya akan mengkomunikasikan kepada klien bahwa ia memaklumi apa yang sudah mereka ketahui tetapi juga bisa menyuarakan makna pengalaman yang oleh klien selama ini hanya disadari secara samar-samar. Penting untuk dipahami bahwa empati akurat jauh melampaui pengenalan akan perasaan yang jelas-jelas bisa dilihat ke suatu perasaan yang kurang jelas dialami klien.
Empati menyertakan lebih daripada mencerminkan kepuasan pada klien, dan lebih daripada suatu teknik semu yang secara rutin digunakan oleh konselor. Empati bukan sekedar pengetahuan obyektif, yang merupakan pemahaman evaluatif dari luar tentang diri klien. Melainkan, empati adalah pemahaman yang mendalam dan subyektif dari si klien bersama klien. Empati adalah rasa indentifikasi pribadi bersama klien. Konselor bisa berbagi hubungan dengan dunia subyektif klien dengan menyesuaikannya dengan perasaan mereka sendiri seperti apa yang dirasakan klien. Namun konselor tidak boleh kehilangan rasa keterpisahan mereka pada dirinya sendiri. Rogers percaya bahwa manakala konselor dapat memasuki dan memahami dunia pribadi si klien, seperti yang dilihat dan dirasakan klien, tanpa kehilangan keterpisahan dari identitasnya sendiri, maka perubahan mungkin bisa terjadi.

E.     Proses Konseling
Proses konseling dengan pendekatan client centered dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien mampu memilih sendiri apakah ia akan terus minta bantuan atau akan membatalkannya.
2.    Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, maka konselor menyadarkan hal ini kepada klien.
3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya atau permasalahannya secara apa adanya, lengkap dan jelas. Dalam hal ini konselor harus menunjukkan sikap ramah, bersahabat dan menerima klien sebagaimana adanya.
4.  Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.
5.  Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya/masalahnya.
6.  Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
7.      Klien merealisasikam pilihan itu dalam tindakan/perbuatan.
Proses tersebut oleh Edy Legowo dkk, (2008) dapat diformulasikan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1.  Pendahuluan, yaitu konselor menerima kehadiran klien atas kesadaran dan inisiatif sendiri dengan mengemukakan segala permasalahannya. Pada langkah ini konselor perlu menciptakan suasana yang kondusif, hubungan interpersonal penuh keakraban dan kehangatan, sehingga klien merasa kehadirannya mendapatkan respon positif dari konselor.
2.   Penjelasan masalah, yaitu langkah di mana konselor memberikan kesempatan dorongan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya (self reflection) dan perkiraannya secara bebas yang berkaitan dengan permasalahannya. Sehubungan dengan hal ini, konselor dituntut secara tulus dan profesional mampu menjernihkan perasaan-perasaan klien yang bersifat negatif termasuk menerima perasaan-perasaan positif dari klien dengan penuh kesadaran.
3.  Penggalian latar permasalahan, yaitu langkah di mana konselor mendorong klien untuk mengungkapkan lebih lengkap, mendalam dan terbuka. Hal ini diharapkan klien secara berangsur-angsur mengenal, memahami dan mererima keadaann dirinya sendiri beserta permasalahannya secara utuh.
4.   Penyelesaian masalah, yaitu langkah konselor mendorong klien menyalurkan perasaan dan pikirannya ke arah pengambilan keputusan dan tindakan dalam rangka memecahkan masalahnya.
5.     Penutupan, yaitu konselor memberikan ringkasan tentang jalannya pembicaraan/pembahasan dalam proses konseling. Menegaskan kembali kesempatan ini konselor perlu tetap menumbuhkembangkan hubungan interpersonal yang dilandasi good raport sehingga klien merasa diterima kehadiran dan permasalahanya tentang keputusan tindakan yang diambil klien. Pada langkah ini juga konselor memberikan dorongan kepada klien untuk melaksanakan keputusan tindakan yang telah ditetapkan serta menawarkan bantuan bilamana menghadapi masalah baru. Dalam kesempatan ini konselor perlu menumbuhkembangkan hubungan interpersonal yang dilandasi good raport sehingga klien merasa diterima kehadiran dan permasalahannya. 

F.     Teknik-Teknik Konseling
Rogers (dalam Corey, 1986) menekankan bahwa yang terpenting dalam proses konseling ini adalah filsafat dan sikap konselor, bukan pada teknik yang didesain untuk membuat klien “berbuat sesuatu”. Pada dasarnya teknik itu menggambarkan implementasi filsafat dan sikap, yang harus konsisten dengan filsafat dan sikap konselor. Dengan adanya perkembangan yang menekankan filsafat dan sikap ini maka ada perubahan-perubahan di dalam frekuensi penggunaan bermacam teknik misalnya: bertanya, penstrukturan, interpretasi, memberi saran atau nasihat.
Teknik-teknik tersebut sebagai cara untuk mewujudkan dan mengkomunikasikan acceptance, understanding, menghargai, dan mengusahakan agar klien mengetahui bahwa konselor berusaha mengembangkan internal frame of reference klien dengan cara konselor mengikuti fikiran, perasaan dan eksplorasi klien, yang merupakan teknik pokok untuk menciptakan dan memelihara hubungan konseling. Oleh karenanya teknik-teknik tersebut tidak dapat digunakan secara self compulsy (dengan sendirinya) bila konselor tidak tahu dalam menggunakan teknik-teknik tersebut. Dengan demikian proses konseling ditinjau dari pandangan klien dari pengamatan dan perubahan yang terjadi di dalam diri klien, bisa juga dilihat dari sudut pandang konselor berdasarkan bagaimana tingkah laku dan partisipasi konselor dalam hubungan ini.

G.    Kecocokannya untuk Diterapkan di Indonesia
Menurut kelompok kami teori client centered cocok di terapkan di Indonesia karena masyarakat di Negara berkembang seperti Indonesia masyarakatnya individualis sehingga banyak klien yang tidak pernah menemui orang dan bisa benar – benar mau mendengarkannya serta mau memahaminya. Di dalam pendekatan ini terdapat konsep pemahaman empatik, empati merupakan alat yang ampuh untuk mengkomunikasikan bahwa klien bisa dimengerti.
Teori ini tidak cocok di terapkan di Indonesia bila klien – kliennya mempunyai masalah  gangguan mental, keterpaksaan klien datang ke konselor,  klien yang terlibat masalah kecanduan obat – obatan,  klien yang mengalami gangguan psikologis ( phobia, traumatik),  serta konselor yang mempunyai budaya yang berbeda dengan klien.