Rogers
(dalam Corey, 1988) memandang manusia sebagai individu yang
tersosialisasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk berfungsi
sepenuhnya, serta memiliki kebaikan yang positif. Dengan asumsi tersebut
pada dasarnya manusia dapat dipercayai, kooperatif dan konstruktif,
tidak perlu ada pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya.
Implikasi dari pandangan filosofis seperti ini, Rogers menganggap bahwa
individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju
ke kondisi psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab
utamanya dalam proses terapi kepada klien. Oleh karena itu konseling client-centered berakar
pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan,
sebab klien merupakan orang yang paling tahu tentang dirinya, dan pantas
menemukan tingkah laku yang pantas bagi dirinya.
Pandangan
Rogers tentang manusia adalah positif, sosial, berpandangan ke depan
dan realistis, baik, dan dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik.
Aktualisasi diri dipandang sebagai pengalaman kemanusiaan yang paling
berarti, sehingga dengan mengaktualisasikan dirinya, menusia dapat
menikmati segala aspek kehidupannya.Tingkah laku manusia diorganisasikan
secara keseluruhan di sekitar tendensi manusia berbuat sesuatu.Pola
perilaku manusia ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara
respon yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak
efektif (menghasilkan rasa tidak senang).Di samping itu pada dasarnya
manusia itu kooperatif, konstruktif, dapat dipercaya, memiliki tendensi
dan usaha mengaktualisasikan dirinya, berprestasi, dapat mempertahankan
dirinya sendiri, mampu memilih tujuan yang benar dalam keadaan bebas
dari ancaman.Pada sisi lain Rogers memandang manusia adalah sebagai
makhluk sosial, berkembang, rasional dan realistis. Manusia adalah
subyek yang utuh, aktif, dan unik.
B. Konsep Dasar
Rogers mengungkapkan bahwa terdapat tiga unsur yang sangat esensial dalam hubungannya dengan kepribadian, yaitu:
1. Self, merupakan
persepsi dan nilai-nilai individu tentang dirinya atau hal-hal lain
yang berhubungan dengan dirinya. Suatu konsepsi yang merupakan persepsi
mengenai dirinya “I”atau “me” dan persepsi hubungan dirinya dengan orang lain dengan segala aspek kehidupannya. Self meliputi dua hal, yaitu real self (gambaran sebenarnya tentang dirinya yang nyata) dan ideal self (apa yang menjadi kesukaan, harapan, atau yang idealisasi tentang dirinya).
2. Medan fenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang
diterimanya baik yang disadari maupun tidak disadari. Pengalaman ada
yang bersifat internal yaitu persepsi mengenai dirinya sendiri dan
pengalaman yang bersifat eksternal yaitu persepsi mengenai dunia
luarnya. Kita dapat memahami medan fenomenal seseorang hanya dengan
menggunakan kerangka pemikiran internal individu (internal frame of reference).
3. Organisme, merupakan keseluruhan totalitas individu, yang meliputi
pemikiran, perilaku dan keadaan fisik. Organisme mempunyai kecenderungan
dan dorongan dasar, yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan dan
mengembangkan diri.
Karakteristik
perilaku bermasalah adalah: pengasingan yaitu orang yang tidak
memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan
antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami
kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep
dirinya, defensif, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya (Hansen
dkk., 1982).
Rogers
tidak mengemukakan bahwa teori terpusat pada pribadi sebagai pendekatan
pada konseling yang pasti dan komplit. Dia berharap orang lain akan
memandang teorinya sebagai suatu perangkat prinsip yang tentatif yang
berkaitan dengan proses konseling itu berkembang, bukan sebagai dogma.
Rogers dan Wood melukiskan karakteristik yang membedakan pendekatan
terpusat pada pribadi dengan model yang lain. Adaptasi dari deskripsi
itu adalah sebagai berikut.
Pendekatan
terpusat pada pribadi difokuskan pada pertanggung jawaban dan kapasitas
klien untuk menemukan cara agar bisa menghadapi realitas. Klien, yang
paling tahu tentang dirinya, adalah yang harus menemukan perilaku yang
lebih tepat baginya yang didasarkan pada kesadaran diri yang sedang
tumbuh.
Pendekatan
itu menekankan dunia fenomena si klien. Dengan usaha untuk bisa
mengantisipasi kerangka referensi internal si klien maka konselor
menaruh kepeduliannya terutama pada persepsi klien akan dirinya dan
dunia.
Prinsip
psikoterapi yang sama berlaku bagi semua klien “normal”, “neurotik”,
dan “psikotik”. Berdasarkan pandangan bahwa usaha untuk bisa bergerak ke
kedewasaan psikologi berakar kuat pada sifat dasar manusia, maka
prinsip pendekatan terpusat pada pribadi berlaku bagi mereka yang
berfungsi pada tingkat yang relatif normal dan juga pada mereka yang
mengalami salah penyesuaian psikologis pada tingkat yang lebih tinggi.
Menurut
pendekatan terpusat pada pribadi psikoterapi hanyalah satu contoh dari
hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertumbuhan
psikoterapik dalam dan lewat hubungan dengan orang lain yang menolongnya
berbuat sesuatu yang tidak bisa dia perbuat sendirian. Psikoterapi
merupakan hubungan dengan konselor yang kongruen (menjadikan perilaku
dan pengungkapan eksternal berpasangan dengan perasaan dan pikiran
internal), yang mau menerima dan empati memberikan fasilitas kepada
klien untuk bisa mengalami perubahan terapeutik.Teori terpusat pada
pribadi mengatakan bahwa fungsi terapis adalah untuk segera hadir dan
bisa dihubungi oleh klien dan untuk berfokus pada pengalaman disini dan
sekarang.
Mungkin
melebihi pendekatan pada psikoterapi/konseling yang manapun, terapi
terpusat pada pribadi telah mengembangkan lewat penelitian suatu proses
dan hasil akhir dari terapi. Teorinya tidaklah tertutup melainkan telah
tumbuh melalui observasi konseling selama bertahun-tahun dan terus
berubah pada saat penelitian baru mendapatkan pemahaman tentang sifat
dasar manusia yang terus bertambah dan proses terapeutiknya.
Jadi,
pendekatan terpusat pada pribadi bukanlah seperangkat teknik ataupun
dogma. Dengan berakar pada suatu perangkat sikap dan kepercayaan yang
didemonstrasikan oleh terapis maka terapi ini bisa dikarakterisasikan
sebagai cara keberadaan dan sebagai perjalanan yang sama-sama
mengungkapkan kemanusiaan masing-masing dan saling berpartisipasi dalam
pengalaman pertumbuhan.
Menurut
pandangan Rogers tujuan konseling tidak hanya menyelesaikan problema.
Melainkan, membantu klien dalam proses pertumbuhannya sehingga dia akan
bisa lebih baik menangani problema yang dihadapinya sekarang dan yang
akan mereka hadapi di masa depan.
Rogers
menulis bahwa orang yang masuk ke kegiatan konseling sering bertanya:
“Bagaimana saya bisa menemukan pribadi saya yang sesungguhnya? Bagaimana
saya bisa menjadi orang sedemikian saya dambakan? Bagaimana saya bisa
ada di belakang penampilan semu saya dan menjadi diriku sendiri?”.Tujuan
yang dianggap penting oleh konselor adalah bisa menciptakan suasana
yang kondusif yang bisa menolong si individu menjadi orang yang
berfungsi secara penuh.
Rogers
melukiskan orang yang menjadi semakin teraktualisasi sebagai yang
memiliki (1) keterbukaan terhadap pengalaman, (2) percaya pada diri
sendiri, (3) sumber evaluasi internal, dan (4) kesediaan untuk tumbuh
secara berlanjut. Mendorong terciptanya karakteristik ini merupakan
tujuan dasar dari pendekatan terpusat pada pribadi.
Salah
satu alasan mengapa klien menginginkan konseling adalah rasa
ketidakberdayaan yang mendasar, tidak memiliki kekuasaan, dan
ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau secara efektif mengarahkan
hidupnya. Mereka berharap bisa menemukan “jalan” setelah mendapatkan
pengajaran dari konselor. Namun, di dalam kerangka terpusat pada
pribadi, mereka akan segera tahu bahwa dalam kaitan itu mereka bisa
bertanggung jawab sendiri dan bahwa mereka bisa belajar untuk bisa lebih
merdeka dengan menggunakan hubungan itu bisa lebih baik memahami diri
sendiri.
Dalam
pandangan Rogers, konselor lebih banyak berperan sebagai partner klien
dalam memecahkan masalahnya.Dalam hubungan konseling, konselor ini lebih
banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala
permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan
segala yang diungkapkan oelh klien.
Agar
peran ini dapat dipertahankan dan tujuan konseling dapat dicapai, maka
konselor perlu menciptakan iklim atau kondisi yang mampu menumbuhkan
hubungan konseling. Kondisi konseling ini menurut Rogers (1961), satu
keharusan dan cukup memadai untuk pertumbuhan, sehingga dia menyebutnya
sebagai necessary and sufficieb=nt conditions for therapeutic change. Kondisi-kondisi yang perlu diciptakan itu adalah sebagai berikut.
1. Ada dua orang dalam konteks psikologi.
2. Orang pertama, yang kita beri nama klien, mengalami hal yang tidak kongruen.
3. Orang kedua, yang kita beri nama konselor, adalah orang yang kongruen dalam interaksi hubungan itu.
4. Konselor menaruh perhatian positif yaitu betul-betul peduli terhadap klien.
5. Konselor mengalami pemahaman secara empati terhadap ukuran internal
dengan mana klien membentuk sikap atau keputusan dan usaha untuk
mengkomunikasikannya dengan klien.
6. Yang dikomunikasikan kepada klien yang berupa pemahaman empati dan
perhatian positif tanpa syarat itu diterima dalam tingkat yang minim.
Dari
perspektif Rogers hubungan konselor/klien berciri kesamaan derajat,
oleh karena konselor tidak merahasiakan pengetahuannya ataupun berusaha
menjadikan proses konseling suatu mistik. Proses perubahan dalam diri
klien sebagian besar bergantung pada kualitas kesamaan derajat hubungan
itu. Karena pengalaman klien melihat terapis mau mendengarkan dengan
sikap terbuka kepada mereka, sedikit demi sedikit bisa belajar bagaimana
dengan hati terbuka mereka mau mendengarkan pada diri sendiri.Oleh
karena mereka mengetahui konselor mau peduli dan menghargai mereka
(bahkan aspek yang selama ini disembunyikan dan dianggap negatif),
mereka mulai tahu harga dan nilai dalam diri mereka sendiri.Oleh karena
mereka mengalami kenyataan dari konselor, mereka membuang banyak dari
kepura-puraan mereka dan bersikap wajar tehadap diri mereka sendiri dan
terhadap konselor.
Tiga
ciri pribadi, atau sikap konselor merupakan bagian sentral dari
hubungan konseling: (1) kongruensi, atau keaslian, (2) perhatian positif
tidak bersyarat, (3) pemahaman empati yang akurat. Dari ketiga ciri
itu, kongruensi merupakan yang paling penting.Kongruensi mengandung arti
bahwa konseling adalah riil; yaitu mereka itu jujur, terintegrasi, dan
otentik selama berlangsungnya kegiatan konseling. Mereka tidak memakai
kedok, sedangkan apa yang mereka alami di hati dan apa yang diungkapkan
keluar cocok, dan mereka bisa secara terbuka mengungkapkan perasaan dan
sikap yang ada dalam hubungannya dengan klien. Konselor yang otentik
secara spontan maupun yang negatif, yang mengalir dalam dirinya. Dengan
mengungkapkan (dan menerima) perasaan negatif apapun, mereka bisa
menjadi fasilitator terjadinya komunikasi yang jujur dengan klien.
Melalui
keontetikan konselor berlaku sebagai model dari manusia yang berjuang
menuju realitas yang lebih besar. Oleh karena kongruen maka diperlukan
pengungkapan amarah, frustasi, senang kepada seseorang/sesuatu untuk
menarik perhatian, kepedulian, kebosanan, terganggu, dan sederetan
perasaan yang lain dalam hubungan itu. Ini tidak berarti bahwa konselor
seyogyanya secara positif berbagi seluruh perasaan dengan klien, oleh
karena pengungkapan diri juga harus pada tempatnya.Juga tidak berarti
bahwa klien merupakan penyebab konselor merasa bosan atau marah. Jebakan
yang akan dijumpai adalah bahwa konselor akan berusaha terlalu keras
untuk menjadi jujur. Berbagi karena orang mengira bahwa itu akan baik
bagi klien, tanpa secara sepenuh hati tergerak untuk mengungkapkan
sesuatu yang dianggap ungkapan pribadi, bisa berarti tidak kongruen.
Namun, konselor harus memikul tanggung jawab terhadap perasaan mereka
sendiri dan menggali perasaan klien yang tetap saja tidak berubah yang
merupakan batu ganjalan untuk mampu hadir bersama klien secara penuh.
Tentu saja sasaran konseling bukanlah untuk membuat konselor
terus-menerus membicarakan perasaannya dengan klien. Terapi terpusat
pada pribadi juga menekankan bahwa konseling akan terkekang kalau
konselor mengalami suatu perasaan tertentu terhadap klien tetapi berbuat
lain dari yang telah dirasakan itu. Oleh karena itu, apabila konselor
tidak menyukai ataupun tidak menyetujui si klien tetapi berbuat
seolah-olah menerima keadaan klien, maka konseling tidak akan berjalan.
Konsep
Rogers tentang kongruen tidak berarti bahwa hanya konselor yang secara
penuh mengaktualisasikan diri yang bisa efektif dalam menjalankan
konseling. Oleh karena konselor itu juga manusia biasa maka mereka tidak
bisa diharapkan untuk bisa otentik secara penuh. Model terpusat pada
pribadi berasumsi bahwa apabila konselor kongruen dalam hubungannya
dengan klien, maka proses konseling pun terjadi. Kongruensi berada dalam
kontinum dan bukan berdasar pada semua atau tidak sama sekali, seperti
yang terjadi pada ketiga ciri itu.
Sikap
positif yang tidak bersyarat dan mau menerima. Sikap kedua yang
diperlukan konselor untuk berkomunikasi dengan klien adalah kepedulian
yang mendalam dan ikhlas terhadapnya sebagai pribadi.Kepedulian itu
tidak dikotori oleh evaluasi atau penilaian baik ayau buruk terhadap
perasaan, pandangan serta perilaku klien.Konselor menghargai dan dengan
hangat menerima klien tanpa mentyertakan persyaratan.Bukan sikap seperti
“Saya mau menerima asal…” melainkan salah satu dari sikap “Saya
menerima Anda seperti adanya”. Dalam komunikasinya konselor mengambil
sikap bahwa mereka menghargai klien seperti apa adanya dan bahwa si
klien bebas untuk memiliki perasaan dan pengalaman tanpa resiko tidak
bisa diterima oleh konselor. Bisa diterima merupakan pengakuan hak klien
untuk memiliki perasaan; ini bukan persetujuan terhadap semua perilaku.
Semua perilaku yang terbuka tidak perlu harus disetujui atau pun
diterima.
Hal
yang juga penting adalah bahwa kepedulian konselor itu tanpa pamrih.
Apabila kepedulian itu bersumber dari kebutuhan mereka untuk bisa
disukai atau dihargai maka perubahan yang konstruktif dalam diri klien
menjadi terhambat.
Salah
satu implikasi dari penekanan terhadap penerimaan adalah bahwa konselor
yang tidak begitu respek terhadap klien maupun ketidaksenangan yang
aktif atau muak bisa mengantisipasi bahwa kerjanya nanti tidak akan
membuahkan sesuatu. Klien akan merasakan tidak adanya perhatian ini dan
menjadi makin bersikap defensif.
Pemahaman
empati yang akurat. Salah satu dari tugas utama konselor adalah
memaklumi pengalaman dan perasan klien secara sensitif dan akurat pada
saat semuanya itu diungkapkan dalam saat-saat interaksi dalam sesi
konseling. Konselor berusaha keras untuk menghayati pengalaman subyektif
klien, terutama yang terjadi di sini dan sekarang. Tujuannya adalah
untuk membangkitkan semangat klien untuk lebih dekat dengan dirinya
sendiri, merasakan lebih mendalam dan intens, dan untuk mengenali dan
menguraikan ketidak-kongruensi-an yang ada di dalam dirinya.
Pemahaman
empati berarti bahwa konselor akan merasakan apa yang dirasakan klien
seolah-olah yang mereka rasakan sendiri tanpa harus terhanyut kepada
perasaan itu. Dengan secara bebas bergerak dalam dunia seperti yang
dialami klien konselor tidak hanya akan mengkomunikasikan kepada klien
bahwa ia memaklumi apa yang sudah mereka ketahui tetapi juga bisa
menyuarakan makna pengalaman yang oleh klien selama ini hanya disadari
secara samar-samar. Penting untuk dipahami bahwa empati akurat jauh
melampaui pengenalan akan perasaan yang jelas-jelas bisa dilihat ke
suatu perasaan yang kurang jelas dialami klien.
Empati
menyertakan lebih daripada mencerminkan kepuasan pada klien, dan lebih
daripada suatu teknik semu yang secara rutin digunakan oleh konselor.
Empati bukan sekedar pengetahuan obyektif, yang merupakan pemahaman
evaluatif dari luar tentang diri klien. Melainkan, empati adalah pemahaman yang mendalam dan subyektif dari si klien bersama
klien. Empati adalah rasa indentifikasi pribadi bersama klien. Konselor
bisa berbagi hubungan dengan dunia subyektif klien dengan
menyesuaikannya dengan perasaan mereka sendiri seperti apa yang
dirasakan klien. Namun konselor tidak boleh kehilangan rasa keterpisahan
mereka pada dirinya sendiri. Rogers percaya bahwa manakala konselor
dapat memasuki dan memahami dunia pribadi si klien, seperti yang dilihat
dan dirasakan klien, tanpa kehilangan keterpisahan dari identitasnya
sendiri, maka perubahan mungkin bisa terjadi.
Proses konseling dengan pendekatan client centered dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila datang atas
suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang
sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien mampu memilih sendiri
apakah ia akan terus minta bantuan atau akan membatalkannya.
2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, maka konselor menyadarkan hal ini kepada klien.
3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya atau
permasalahannya secara apa adanya, lengkap dan jelas. Dalam hal ini
konselor harus menunjukkan sikap ramah, bersahabat dan menerima klien
sebagaimana adanya.
4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.
5. Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya/masalahnya.
6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
7. Klien merealisasikam pilihan itu dalam tindakan/perbuatan.
Proses tersebut oleh Edy Legowo dkk, (2008) dapat diformulasikan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pendahuluan, yaitu konselor menerima kehadiran klien atas kesadaran dan
inisiatif sendiri dengan mengemukakan segala permasalahannya. Pada
langkah ini konselor perlu menciptakan suasana yang kondusif, hubungan
interpersonal penuh keakraban dan kehangatan, sehingga klien merasa
kehadirannya mendapatkan respon positif dari konselor.
2. Penjelasan masalah, yaitu langkah di mana konselor memberikan
kesempatan dorongan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya (self reflection)
dan perkiraannya secara bebas yang berkaitan dengan permasalahannya.
Sehubungan dengan hal ini, konselor dituntut secara tulus dan
profesional mampu menjernihkan perasaan-perasaan klien yang bersifat
negatif termasuk menerima perasaan-perasaan positif dari klien dengan
penuh kesadaran.
3. Penggalian latar permasalahan, yaitu langkah di mana konselor mendorong
klien untuk mengungkapkan lebih lengkap, mendalam dan terbuka. Hal ini
diharapkan klien secara berangsur-angsur mengenal, memahami dan mererima
keadaann dirinya sendiri beserta permasalahannya secara utuh.
4. Penyelesaian masalah, yaitu langkah konselor mendorong klien
menyalurkan perasaan dan pikirannya ke arah pengambilan keputusan dan
tindakan dalam rangka memecahkan masalahnya.
5. Penutupan, yaitu konselor memberikan ringkasan tentang jalannya
pembicaraan/pembahasan dalam proses konseling. Menegaskan kembali
kesempatan ini konselor perlu tetap menumbuhkembangkan hubungan interpersonal yang dilandasi good raport
sehingga klien merasa diterima kehadiran dan permasalahanya tentang
keputusan tindakan yang diambil klien. Pada langkah ini juga konselor
memberikan dorongan kepada klien untuk melaksanakan keputusan tindakan
yang telah ditetapkan serta menawarkan bantuan bilamana menghadapi
masalah baru. Dalam kesempatan ini konselor perlu menumbuhkembangkan
hubungan interpersonal yang dilandasi good raport sehingga klien merasa diterima kehadiran dan permasalahannya.
Rogers
(dalam Corey, 1986) menekankan bahwa yang terpenting dalam proses
konseling ini adalah filsafat dan sikap konselor, bukan pada teknik yang
didesain untuk membuat klien “berbuat sesuatu”. Pada dasarnya teknik
itu menggambarkan implementasi filsafat dan sikap, yang harus konsisten
dengan filsafat dan sikap konselor. Dengan adanya perkembangan yang
menekankan filsafat dan sikap ini maka ada perubahan-perubahan di dalam
frekuensi penggunaan bermacam teknik misalnya: bertanya, penstrukturan,
interpretasi, memberi saran atau nasihat.
Teknik-teknik tersebut sebagai cara untuk mewujudkan dan mengkomunikasikan acceptance, understanding, menghargai, dan mengusahakan agar klien mengetahui bahwa konselor berusaha mengembangkan internal frame of reference klien
dengan cara konselor mengikuti fikiran, perasaan dan eksplorasi klien,
yang merupakan teknik pokok untuk menciptakan dan memelihara hubungan
konseling. Oleh karenanya teknik-teknik tersebut tidak dapat digunakan
secara self compulsy (dengan sendirinya) bila konselor tidak
tahu dalam menggunakan teknik-teknik tersebut. Dengan demikian proses
konseling ditinjau dari pandangan klien dari pengamatan dan perubahan
yang terjadi di dalam diri klien, bisa juga dilihat dari sudut pandang
konselor berdasarkan bagaimana tingkah laku dan partisipasi konselor
dalam hubungan ini.
Menurut
kelompok kami teori client centered cocok di terapkan di Indonesia
karena masyarakat di Negara berkembang seperti Indonesia masyarakatnya
individualis sehingga banyak klien yang tidak pernah menemui orang dan
bisa benar – benar mau mendengarkannya serta mau memahaminya. Di dalam
pendekatan ini terdapat konsep pemahaman empatik, empati merupakan alat
yang ampuh untuk mengkomunikasikan bahwa klien bisa dimengerti.
Teori
ini tidak cocok di terapkan di Indonesia bila klien – kliennya
mempunyai masalah gangguan mental, keterpaksaan klien datang ke
konselor, klien yang terlibat masalah kecanduan obat – obatan, klien
yang mengalami gangguan psikologis ( phobia, traumatik), serta konselor
yang mempunyai budaya yang berbeda dengan klien.