Thursday, May 30, 2013

Teori Konseling eklektik

TEORI KONSELING EKLEKTIK
Di dalam melakukan konseling, terdapat berbagai macam teori konseling yang dapat digunakan oleh konselor sebagai pedoman pelaksanaan konseling. Salah satu teori konseling tersebut adalah teori konseling eklektik. Konseling eklektik (eclectic counseling) mulai dikembangkan sejak tahun 1940-an oleh Frederick Thorne yang merupakan promotor utama dari corak konseling ini. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Robinson. Teori konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan hasil perpaduan berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan.
A.    Prinsip Dasar
         Menurut Thorne kepribadian seorang individu terbentuk dan tercermin sebagai interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Hal ini merupakan karakteristik dari proses berubah dan menjadi.
Dinamika kepribadian terdiri dari serangkaian dorongan yang meliputi :
  • Dorongan untuk perwujudan diri yang lebih tinggi (aktualisasi, fungsi sempurna, integrasi).
  • Dorongan untuk mencapai dan memelihara kestabilitasan diri (pemeliharaan diri, kontrol diri, tujuan hidup, gaya hidup).
  • Dorongan menggabungkan fungsi pertentangan dalam diri sehingga menghindari ketidakseimbangan.
       Suatu gaya hidup individu didasarkan pada pola karakteristik dari pencapaian penggabungan strateginya dalam memuaskan kebutuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan (realitas) hidup. Kesadaran adalah mempertimbangkan, mengorganisasikan, menggabungkan, dan menyatukan mekanisme penentu serta membuat kemungkinan fungsi kepribadian yang lebih tinggi. Penggambaran diri didefinisikan sebagai apa yang orang pikirkan tentang dirinya sedangkan konsep diri digambarkan sebagai inti dari evaluasi diri seseorang ketika menampakkan dirinya kepada orang lain.
     Dari pandangan eklektik, perkembangan kepribadian diakui sebagai suatu perjuangan untuk penentu ketidaksadaran afektif-impulsif dari perilaku-perilaku melalui pembelajaran dan penyempurnaan rasional-logika-fakultatif-kontrol perilaku.
B.    Konsep Dasar
      Kata eklektik berarti menyeleksi, memilih doktrin yang sesuai atau metode dari berbagai sumber atau sistem. Teori konseling eklektik menunjuk pada suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan, yang merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. 
        Konselor yang berpegang pada pola eklektik berpendapat bahwa mengikuti satu orientasi teoritis serta menerapkan satu pendekatan terlalu membatasi ruang gerak konselor sebaliknya konselor ingin menggunakan variasi dalam sudut pandangan, prosedur dan teknik sehingga dapat melayani masing-masing konseli sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah-masalah yang dihadapi. Ini tidak berarti bahwa konselor berpikir dan bertindak seperti orang yang bersikap opportunis, dalam arti diterapkan saja pandangan, prosedur dan teknik yang kebetulan membawa hasil yang paling baik tanpa berpegang pada prinsip-prinsip tertentu. Konselor yang berpegang pada pola eklektik menguasai sejumlah prosedur dan teknik  serta memilih dari prosedur-prosedur dan teknik-teknik yang tersedia, mana yang dianggapnya paling sesuai dalam melayani konseli tertentu. (Winkel, 1991: 373)
        Dari pengetahuannya pada persepsi, pengembangan, pembelajaran dan kepribadian, konselor eklektik mengembangkan metode dan memilih yang paling sesuai dengan masalah yang dihadapi individu.
Konselor mengembangkan pandangan eklektik yang digambarkan oleh Brammer dengan urutan sebagai berikut :
  • Konselor menolak penekanan teori secara khusus dengan mengamati dan menilai klien dan perilaku konselor lainnya.
  • Konselor mempelajari sejarah dari konseling dan psikoterapi untuk mengembangkan pengetahuannya.
  • Konselor yang mengembangkan pandangan eklektik mengetahui kepribadiannya sendiri dan menyadari gaya interaksi yang perlu dikembangkan dalam hubungan konseling sesuai dengan karakteristik klien yang berbeda-beda.
      Teori konseling eklektik seperti yang dipersepsikan oleh Thorne membutuhkan tanggapan dari klien tentang sejarah masa lalu mereka, situasi saat ini, dan kemungkinan di masa yang akan datang, dengan memanfaatkan pengetahuan perkembangan kepribadian dari ilmu biologi dan sosial. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang perwujudan diri individu.
Teori konseling eklektik dibangun atas kebutuhan akan memaksimalkan intelektual individu sebagai sumber daya untuk mengembangkan pemecahan masalah. Penyesuaian yang salah diyakini sebagai hasil dari kegagalan klien dalam belajar menggunakan sumber daya intelektual.
Menurut Thorne, konseling dan psikoterapi dipahami sebagai proses pembelajaran yang meliputi :
  • Mendiagnosis faktor-faktor psikodinamika etiologi dalam rangka untuk merumuskan masalah yang akan dipelajari.
  • Menyusun suasana kondusif untuk pembelajaran.
  • Menguraikan dan membimbing langkah-langkah pendidikan.
  • Menyediakan kesempatan untuk praktik.
  • Memberi wawasan terhadap proses yang alami dan hasilnya untuk meningkatkan motivasi belajar.
C.    Tujuan Konseling
        Tujuan konseling menurut teori eklektik adalah membantu klien mengembangkan integrasinya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan. Untuk mencapai tujuan yang ideal ini maka klien perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan klien secara sadar dan intensif, dan memiliki latihan pengendalian atas permasalahan. Oleh karena itu, konselor dituntut untuk memiliki kepribadian yang baik.
      Tujuan layanan konseling eklektik  adalah menggantikan tingkah laku yang terlalu kompulsif dan emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional dan lebih konstruktif. Konselor sebagai ahli konseling yang menguasai berbagai prosedur dan teknik untuk memberikan bantuan kepada orang lain serta berkompeten untuk mendampingi konseli dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidup secara tuntas.
D.    Hubungan antara Konselor dan Klien
    Dalam konseling eklektik peran konselor tidak terdefinisi secara khusus. Beberapa ahli eklektik memberikan penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian pada kliennya dan menciptakan iklim kondusif bagi perubahan yang diinginkan klien.
       Tugas konselor adalah mendampingi konseli dalam melatih diri sendiri untuk memanfaatkan kemampuan berpikir yang dimilikinya. Konseling eklektik sebagaimana dikembangkan oleh Thorne dianggap sesuai untuk diterapkan terhadap orang-orang yang tergolong normal, yaitu tidak menunjukkan gejala-gejala kelainan dalam kepribadiannya atau gangguan kesehatan mental yang berat. Orang-orang yang normal itu dapat saja menghadapi berbagai persoalan hidup, yang dapat mereka selesaikan tanpa dituntut perombakan total dalam kepribadiannya.
       Individu menghubungi seorang konselor, bilamana dia mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Para konseli mengharapkan bertemu dengan seorang ahli, yang lebih pandai dari mereka dalam memikirkan persoalan-persoalan hidup dan memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal-hal itu daripada mereka sendiri. Oleh karena itu, konselor memberikan pengarahan sejauh yang diperlukan.
        Dalam berkomunikasi dengan konseli, konselor harus menentukan kapan konseli membutuhkan banyak pengarahan untuk penyaluran pikiran, informasi, instruksi, usul, serta saran; dan kapan konseli tidak membutuhkan pengarahan itu. Konselorlah yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan konseli pada tahap tertentu dalam proses konseling. Konseli sebagai manusia dianggap memiliki dorongan yang timbul dari dirinya sendiri untuk mempertahankan (maintenance) dan mengembangkan dirinya sendiri seoptimal mungkin (actualization). Namun, realisasi dari dorongan dasar ini dapat terhambat karena konseli belum mempergunakan kemampuannya untuk berpikir secara efektif dan efisien.
      Selama proses konseling, setiap kali konseli menunjukkan kemajuan dalam mengatur kehidupannya sendiri dengan berpikir rasional, konselor mengurangi pengarahan yang diberikannya. Sedangkan setiap kali konseli menunjukkan kemunduran dalam mengatur diri sendiri, konselor menambah pengarahan dengan membantu berpikir yang lebih baik.
       Bagi konseli, proses konseling merupakan suatu proses belajar yang mengalami gelombang pasang surut, yang berarti mengalami masa kemajuan dan masa kemunduran, tetapi secara keseluruhannya proses belajar itu memperlihatkan tanda-tanda kemajuan. Untuk itu, konseli dituntut mempunyai motivasi yang cukup kuat, mampu berkomunikasi dalam suasana hubungan pribadi, mampu mengungkapkan persoalan-persoalannya dengan kata-kata yang memadai, dan memiliki kepribadian yang cukup stabil, sehingga dapat menemukan suatu penyelesaian dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari setelah konseling berakhir.
        Dalam teknik konseling verbal Thorne menganjurkan agar konseli diberi kesempatan untuk menemukan penyelesaian atas masalahnya sendiri tanpa pengarahan dari konselor.  Bilamana ternyata konseli belum dapat menemukan penyelesaian atas masalahnya sendiri, barulah konselor mulai memberikan pengarahan yang jelas.
      Thorne menekankan perlunya konselor mengumpulkan data tentang konseli sebanyak mungkin yang dapat diperoleh dari berbagai sumber. Data itu dianggap perlu, supaya konselor dapat membuat suatu diagnosis (psychological diagnosis) dan hubungan sebab-akibat antara unsur-unsur sehingga persoalan konseli menjadi jelas dan supaya kelanjutan dari proses konseling dapat direncanakan dengan lebih baik.
Menurut patokan yang dipegang oleh Thorne, seseorang dikatakan telah berhasil dalam menjalani proses konseling bila individu :
  • Mampu mengungkapkan perasaan-perasaan dan motif-motifnya secara lebih memadai.
  • Mampu mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik.
  • Mampu memandang dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya secara lebih realistik.
  • Mampu berpikir lebih rasional dan logis.
  • Mampu mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang lebih selaras dan lebih konsisten yang satu dengan yang lain.
  • Mampu mengatasi penipuan diri dengan meninggalkan penggunaan berbagai mekanisme pertahanan diri.
  • Menunjukkan tanda-tanda lebih mampu mandiri dan bertindak secara lebih dewasa.
E.    Proses Konseling
1.    Tahap Pembukaan
        Selama proses ini, konselor berusaha untuk menciptakan relasi hubungan antar pribadi yang baik. Pada awal proses konseling, bila konseli baru mengutarakan masalahnya serta mengungkapkan semua pikiran dan perasaannya tentang masalah itu, digunakan banyak teknik verbal yang tidak mengandung pengarahan tegas oleh konselor, seperti ajakan untuk mulai, refleksi pikiran dan perasaan, klarifikasi pikiran dan perasaan, permintaan untuk melanjutkan, pengulangan satu-dua kata, dan ringkasan sementara.
Namun, dalam keseluruhannya proses konseling tidak dibiarkan berjalan ala kadamya, tetapi diatur menurut urutan fase-fase penutup. 
2.    Tahap Penjelasan Masalah
       Konseli mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi.  Selama tahap ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh sambil menunjukkan pemahaman dan pengertian serta memantulkan perasaan dan pikiran yang diungkap oleh konseli. Konselor banyak menggunakan teknik-teknik verbal yang mengandung pengarahan minimal.
Konselor berusaha untuk menentukan apa yang diharapkan konseli dari dirinya. Harapan ini merupakan kebutuhan konseli pada saat sekarang dan berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling. Kebutuhan konseli dapat bermacam-macam, antara lain:
  • Konseli membutuhkan informasi tentang sesuatu dan dia akan puas setelah mendapat informasi yang relevan. Tanggapan konselor berupa penjelasan tentang hal yang ditanyakan kalau dia langsung mengetahuinya, atau berupa penunjukan sumber-sumber informasi yang relevan.
  • Konseli membutuhkan dukungan moral dalam menghadapi suatu situasi kehidupan yang sulit baginya. Konseli ingin mencurahkan isi hatinya dan mengurangi beban batinnya dengan mengutarakan semua kepada seseorang yang dapat mendengar dengan tenang dan bersikap empati. Tanggapan konselor dapat berupa pemberian semangat dan keberanian serta pengangkatan hati.
  • Konseli membutuhkan konfirmasi atau suatu pilihan yang telah dibuatnya. Konselor dapat mempersilakan konseli untuk menjelaskan atas dasar pertimbangan-pertimbangan apa ditentukan pilihan itu.
  • Konseli membutuhkan bantuan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya, yang memang belum ditemukan cara penyelesaiannya. Kebutuhan ini menjadi nyata dari ungkapan-ungkapan konseli selama tahap penjelasan masalah.
3.    Tahap Penggalian Masalah
     Konselor dan konseli bersama-sama menggali latar belakang masalah, antara lain asal-usul permasalahan, unsur-unsur yang pokok dan tidak pokok, pihak-pihak siapa saja yang terlibat, perasaan dan pikiran konseli  mengenai masalah yang dihadapi.
4.    Tahap Penyelesaian Masalah
     Dengan berpegang pada perbedaan antara a choise case dan a change case, konselor dan konseli membahas persoalan sampai ditemukan penyelesaian yang tuntas dengan mengindahkan semua data dan fakta.
5.    Tahap penutup
      Selama tahap ini konselor mengakhiri proses konseling, baik yang masih akan disusul dengan konseling lain maupun yang merupakan konseling terakhir. (Winkel, 1990:373)
F.    Teknik-Teknik Konseling
       Pendapat yang paling relevan bagi konselor yang menggunakan teknik eklektik adalah tingkat keaktifan konselor dalam bekerja dengan konseli. Setelah menelusuri sejarah dari dasar pemikiran tentang peran konselor, Thorne membuat kesimpulan tentang penggunaan teknik aktif dan teknik pasif:
  • Metode pasif harus digunakan bila memungkinkan.
  • Metode aktif harus digunakan hanya dengan indikasi tertentu. Pada umumnya, hanya meminimalkan campur tangan secara langsung yang  diperlukan untuk mencapai tujuan terapeutik.
  • Teknik pasif biasanya menggunakan metode pilihan pada tahap awal terapi saat klien bercerita dan untuk melepaskan emosional.
  • Hukum parsimoni harus diamati setiap saat. Metode yang sulit digunakan setelah metode sederhana gagal dilakukan.
  • Semua terapi berpusat pada klien. Ini berarti bahwa kepentingan klien menjadi pertimbangan utama. Ini tidak berarti bahwa metode aktif kontra-indikasi. Dalam banyak kasus, kebutuhan klien menunjukkan tindakan direktif.
  • Memberi kesempatan kepada setiap klien untuk menyelesaikan masalahnya secara tidak langsung.
  • Metode aktif biasanya ditunjukkan dalam situasi ketidakmampuan dimana solusi tidak dapat dicapai tanpa kerja sama dengan orang lain.
  • Konseling eklektik cenderung mengutamakan klien yang aktif dan konselor yang pasif. Tetapi bila teknik pasif yang dilakukan konselor mengalami hambatan, maka konselor baru menggunakan teknik aktif.
G.    Kecocokannya untuk Diterapkan di Indonesia
     Teori konseling eklektik merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. Konselor yang menggunakan pendekatan ini dapat melayani konseli sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah-masalah yang dihadapi. Dengan demikian, teori ini cocok untuk diterapkan di Indonesia yang individu-individunya memiliki berbagai karakteristik. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki beragam budaya dan terdiri dari beragam suku bangsa.
Teori konseling eklektik dibangun atas kebutuhan akan memaksimalkan intelektual individu sebagai sumber daya untuk mengembangkan pemecahan masalah. Penyesuaian yang salah diyakini sebagai hasil dari kegagalan klien dalam belajar menggunakan sumber daya intelektual. Hal ini sejalan dengan kebutuhan sumber daya manusia di Indonesia yang memiliki intelektual yang cukup tinggi tetapi kurang mampu mengembangkannya secara optimal.
Konseling eklektik bertujuan menggantikan tingkah laku yang terlalu kompulsif dan emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional dan lebih konstruktif. Teori ini cocok diterapkan di Indonesia dimana sebagian besar penduduknya masih percaya pada hal-hal yang berhubungan dengan mistis dan takhayul, sehingga kurang bisa berpikir rasional.

No comments:

Post a Comment