TEORI KONSELING EKLEKTIK
Di dalam melakukan konseling, terdapat berbagai macam teori konseling
yang dapat digunakan oleh konselor sebagai pedoman pelaksanaan
konseling. Salah satu teori konseling tersebut adalah teori konseling
eklektik. Konseling eklektik (eclectic counseling) mulai dikembangkan
sejak tahun 1940-an oleh Frederick Thorne yang merupakan promotor utama
dari corak konseling ini. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh
Robinson. Teori konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam
konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan hasil
perpaduan berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa
konsepsi serta pendekatan.
A. Prinsip Dasar
Menurut Thorne kepribadian seorang individu terbentuk dan
tercermin sebagai interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Hal ini
merupakan karakteristik dari proses berubah dan menjadi.
Dinamika kepribadian terdiri dari serangkaian dorongan yang meliputi :
- Dorongan untuk perwujudan diri yang lebih tinggi (aktualisasi, fungsi sempurna, integrasi).
- Dorongan untuk mencapai dan memelihara kestabilitasan diri (pemeliharaan diri, kontrol diri, tujuan hidup, gaya hidup).
- Dorongan menggabungkan fungsi pertentangan dalam diri sehingga menghindari ketidakseimbangan.
Suatu gaya hidup individu didasarkan pada pola karakteristik dari
pencapaian penggabungan strateginya dalam memuaskan kebutuhan dan
menyesuaikan diri dengan kenyataan (realitas) hidup. Kesadaran adalah
mempertimbangkan, mengorganisasikan, menggabungkan, dan menyatukan
mekanisme penentu serta membuat kemungkinan fungsi kepribadian yang
lebih tinggi. Penggambaran diri didefinisikan sebagai apa yang orang
pikirkan tentang dirinya sedangkan konsep diri digambarkan sebagai inti
dari evaluasi diri seseorang ketika menampakkan dirinya kepada orang
lain.
Dari pandangan eklektik, perkembangan kepribadian diakui sebagai
suatu perjuangan untuk penentu ketidaksadaran afektif-impulsif dari
perilaku-perilaku melalui pembelajaran dan penyempurnaan
rasional-logika-fakultatif-kontrol perilaku.
B. Konsep Dasar
Kata eklektik berarti menyeleksi, memilih doktrin yang sesuai atau
metode dari berbagai sumber atau sistem. Teori konseling eklektik
menunjuk pada suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada
pandangan teoritis dan pendekatan, yang merupakan perpaduan dari
berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta
pendekatan.
Konselor yang berpegang pada pola eklektik berpendapat bahwa
mengikuti satu orientasi teoritis serta menerapkan satu pendekatan
terlalu membatasi ruang gerak konselor sebaliknya konselor ingin
menggunakan variasi dalam sudut pandangan, prosedur dan teknik sehingga
dapat melayani masing-masing konseli sesuai dengan kebutuhannya dan
sesuai dengan ciri khas masalah-masalah yang dihadapi. Ini tidak berarti
bahwa konselor berpikir dan bertindak seperti orang yang bersikap
opportunis, dalam arti diterapkan saja pandangan, prosedur dan teknik
yang kebetulan membawa hasil yang paling baik tanpa berpegang pada
prinsip-prinsip tertentu. Konselor yang berpegang pada pola eklektik
menguasai sejumlah prosedur dan teknik serta memilih dari
prosedur-prosedur dan teknik-teknik yang tersedia, mana yang dianggapnya
paling sesuai dalam melayani konseli tertentu. (Winkel, 1991: 373)
Dari pengetahuannya pada persepsi, pengembangan, pembelajaran
dan kepribadian, konselor eklektik mengembangkan metode dan memilih yang
paling sesuai dengan masalah yang dihadapi individu.
Konselor mengembangkan pandangan eklektik yang digambarkan oleh Brammer dengan urutan sebagai berikut :
- Konselor menolak penekanan teori secara khusus dengan mengamati dan menilai klien dan perilaku konselor lainnya.
- Konselor mempelajari sejarah dari konseling dan psikoterapi untuk mengembangkan pengetahuannya.
- Konselor yang mengembangkan pandangan eklektik mengetahui kepribadiannya sendiri dan menyadari gaya interaksi yang perlu dikembangkan dalam hubungan konseling sesuai dengan karakteristik klien yang berbeda-beda.
Teori konseling eklektik seperti yang dipersepsikan oleh Thorne
membutuhkan tanggapan dari klien tentang sejarah masa lalu mereka,
situasi saat ini, dan kemungkinan di masa yang akan datang, dengan
memanfaatkan pengetahuan perkembangan kepribadian dari ilmu biologi dan
sosial. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang perwujudan diri individu.
Teori konseling eklektik dibangun atas kebutuhan akan memaksimalkan
intelektual individu sebagai sumber daya untuk mengembangkan pemecahan
masalah. Penyesuaian yang salah diyakini sebagai hasil dari kegagalan
klien dalam belajar menggunakan sumber daya intelektual.
Menurut Thorne, konseling dan psikoterapi dipahami sebagai proses pembelajaran yang meliputi :
- Mendiagnosis faktor-faktor psikodinamika etiologi dalam rangka untuk merumuskan masalah yang akan dipelajari.
- Menyusun suasana kondusif untuk pembelajaran.
- Menguraikan dan membimbing langkah-langkah pendidikan.
- Menyediakan kesempatan untuk praktik.
- Memberi wawasan terhadap proses yang alami dan hasilnya untuk meningkatkan motivasi belajar.
C. Tujuan Konseling
Tujuan konseling menurut teori eklektik adalah membantu klien
mengembangkan integrasinya pada level tertinggi, yang ditandai oleh
adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan. Untuk mencapai
tujuan yang ideal ini maka klien perlu dibantu untuk menyadari
sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan klien secara sadar dan
intensif, dan memiliki latihan pengendalian atas permasalahan. Oleh
karena itu, konselor dituntut untuk memiliki kepribadian yang baik.
Tujuan layanan konseling eklektik adalah menggantikan tingkah
laku yang terlalu kompulsif dan emosional dengan tingkah laku yang
bercorak lebih rasional dan lebih konstruktif. Konselor sebagai ahli
konseling yang menguasai berbagai prosedur dan teknik untuk memberikan
bantuan kepada orang lain serta berkompeten untuk mendampingi konseli
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidup secara tuntas.
D. Hubungan antara Konselor dan Klien
Dalam konseling eklektik peran konselor tidak terdefinisi secara
khusus. Beberapa ahli eklektik memberikan penekanan bahwa konselor perlu
memberi perhatian pada kliennya dan menciptakan iklim kondusif bagi
perubahan yang diinginkan klien.
Tugas konselor adalah mendampingi konseli dalam melatih diri
sendiri untuk memanfaatkan kemampuan berpikir yang dimilikinya.
Konseling eklektik sebagaimana dikembangkan oleh Thorne dianggap sesuai
untuk diterapkan terhadap orang-orang yang tergolong normal, yaitu tidak
menunjukkan gejala-gejala kelainan dalam kepribadiannya atau gangguan
kesehatan mental yang berat. Orang-orang yang normal itu dapat saja
menghadapi berbagai persoalan hidup, yang dapat mereka selesaikan tanpa
dituntut perombakan total dalam kepribadiannya.
Individu menghubungi seorang konselor, bilamana dia mempunyai
masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Para konseli mengharapkan
bertemu dengan seorang ahli, yang lebih pandai dari mereka dalam
memikirkan persoalan-persoalan hidup dan memiliki lebih banyak
pengalaman dalam hal-hal itu daripada mereka sendiri. Oleh karena itu,
konselor memberikan pengarahan sejauh yang diperlukan.
Dalam berkomunikasi dengan konseli, konselor harus menentukan
kapan konseli membutuhkan banyak pengarahan untuk penyaluran pikiran,
informasi, instruksi, usul, serta saran; dan kapan konseli tidak
membutuhkan pengarahan itu. Konselorlah yang menyesuaikan diri dengan
kebutuhan konseli pada tahap tertentu dalam proses konseling. Konseli
sebagai manusia dianggap memiliki dorongan yang timbul dari dirinya
sendiri untuk mempertahankan (maintenance) dan mengembangkan dirinya
sendiri seoptimal mungkin (actualization). Namun, realisasi dari
dorongan dasar ini dapat terhambat karena konseli belum mempergunakan
kemampuannya untuk berpikir secara efektif dan efisien.
Selama proses konseling, setiap kali konseli menunjukkan kemajuan
dalam mengatur kehidupannya sendiri dengan berpikir rasional, konselor
mengurangi pengarahan yang diberikannya. Sedangkan setiap kali konseli
menunjukkan kemunduran dalam mengatur diri sendiri, konselor menambah
pengarahan dengan membantu berpikir yang lebih baik.
Bagi konseli, proses konseling merupakan suatu proses belajar
yang mengalami gelombang pasang surut, yang berarti mengalami masa
kemajuan dan masa kemunduran, tetapi secara keseluruhannya proses
belajar itu memperlihatkan tanda-tanda kemajuan. Untuk itu, konseli
dituntut mempunyai motivasi yang cukup kuat, mampu berkomunikasi dalam
suasana hubungan pribadi, mampu mengungkapkan persoalan-persoalannya
dengan kata-kata yang memadai, dan memiliki kepribadian yang cukup
stabil, sehingga dapat menemukan suatu penyelesaian dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari setelah konseling
berakhir.
Dalam teknik konseling verbal Thorne menganjurkan agar konseli
diberi kesempatan untuk menemukan penyelesaian atas masalahnya sendiri
tanpa pengarahan dari konselor. Bilamana ternyata konseli belum dapat
menemukan penyelesaian atas masalahnya sendiri, barulah konselor mulai
memberikan pengarahan yang jelas.
Thorne menekankan perlunya konselor mengumpulkan data tentang
konseli sebanyak mungkin yang dapat diperoleh dari berbagai sumber. Data
itu dianggap perlu, supaya konselor dapat membuat suatu diagnosis
(psychological diagnosis) dan hubungan sebab-akibat antara unsur-unsur
sehingga persoalan konseli menjadi jelas dan supaya kelanjutan dari
proses konseling dapat direncanakan dengan lebih baik.
Menurut patokan yang dipegang oleh Thorne, seseorang dikatakan telah berhasil dalam menjalani proses konseling bila individu :
- Mampu mengungkapkan perasaan-perasaan dan motif-motifnya secara lebih memadai.
- Mampu mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik.
- Mampu memandang dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya secara lebih realistik.
- Mampu berpikir lebih rasional dan logis.
- Mampu mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang lebih selaras dan lebih konsisten yang satu dengan yang lain.
- Mampu mengatasi penipuan diri dengan meninggalkan penggunaan berbagai mekanisme pertahanan diri.
- Menunjukkan tanda-tanda lebih mampu mandiri dan bertindak secara lebih dewasa.
E. Proses Konseling
1. Tahap Pembukaan
Selama proses ini, konselor berusaha untuk menciptakan relasi
hubungan antar pribadi yang baik. Pada awal proses konseling, bila
konseli baru mengutarakan masalahnya serta mengungkapkan semua pikiran
dan perasaannya tentang masalah itu, digunakan banyak teknik verbal yang
tidak mengandung pengarahan tegas oleh konselor, seperti ajakan untuk
mulai, refleksi pikiran dan perasaan, klarifikasi pikiran dan perasaan,
permintaan untuk melanjutkan, pengulangan satu-dua kata, dan ringkasan
sementara.
Namun, dalam keseluruhannya proses konseling tidak dibiarkan berjalan
ala kadamya, tetapi diatur menurut urutan fase-fase penutup.
2. Tahap Penjelasan Masalah
Konseli mengutarakan masalah atau persoalan yang dihadapi.
Selama tahap ini konselor mendengarkan dengan sungguh-sungguh sambil
menunjukkan pemahaman dan pengertian serta memantulkan perasaan dan
pikiran yang diungkap oleh konseli. Konselor banyak menggunakan
teknik-teknik verbal yang mengandung pengarahan minimal.
Konselor berusaha untuk menentukan apa yang diharapkan konseli dari
dirinya. Harapan ini merupakan kebutuhan konseli pada saat sekarang dan
berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling.
Kebutuhan konseli dapat bermacam-macam, antara lain:
- Konseli membutuhkan informasi tentang sesuatu dan dia akan puas setelah mendapat informasi yang relevan. Tanggapan konselor berupa penjelasan tentang hal yang ditanyakan kalau dia langsung mengetahuinya, atau berupa penunjukan sumber-sumber informasi yang relevan.
- Konseli membutuhkan dukungan moral dalam menghadapi suatu situasi kehidupan yang sulit baginya. Konseli ingin mencurahkan isi hatinya dan mengurangi beban batinnya dengan mengutarakan semua kepada seseorang yang dapat mendengar dengan tenang dan bersikap empati. Tanggapan konselor dapat berupa pemberian semangat dan keberanian serta pengangkatan hati.
- Konseli membutuhkan konfirmasi atau suatu pilihan yang telah dibuatnya. Konselor dapat mempersilakan konseli untuk menjelaskan atas dasar pertimbangan-pertimbangan apa ditentukan pilihan itu.
- Konseli membutuhkan bantuan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya, yang memang belum ditemukan cara penyelesaiannya. Kebutuhan ini menjadi nyata dari ungkapan-ungkapan konseli selama tahap penjelasan masalah.
3. Tahap Penggalian Masalah
Konselor dan konseli bersama-sama menggali latar belakang masalah,
antara lain asal-usul permasalahan, unsur-unsur yang pokok dan tidak
pokok, pihak-pihak siapa saja yang terlibat, perasaan dan pikiran
konseli mengenai masalah yang dihadapi.
4. Tahap Penyelesaian Masalah
Dengan berpegang pada perbedaan antara a choise case dan a change
case, konselor dan konseli membahas persoalan sampai ditemukan
penyelesaian yang tuntas dengan mengindahkan semua data dan fakta.
5. Tahap penutup
Selama tahap ini konselor mengakhiri proses konseling, baik yang
masih akan disusul dengan konseling lain maupun yang merupakan konseling
terakhir. (Winkel, 1990:373)
F. Teknik-Teknik Konseling
Pendapat yang paling relevan bagi konselor yang menggunakan
teknik eklektik adalah tingkat keaktifan konselor dalam bekerja dengan
konseli. Setelah menelusuri sejarah dari dasar pemikiran tentang peran
konselor, Thorne membuat kesimpulan tentang penggunaan teknik aktif dan
teknik pasif:
- Metode pasif harus digunakan bila memungkinkan.
- Metode aktif harus digunakan hanya dengan indikasi tertentu. Pada umumnya, hanya meminimalkan campur tangan secara langsung yang diperlukan untuk mencapai tujuan terapeutik.
- Teknik pasif biasanya menggunakan metode pilihan pada tahap awal terapi saat klien bercerita dan untuk melepaskan emosional.
- Hukum parsimoni harus diamati setiap saat. Metode yang sulit digunakan setelah metode sederhana gagal dilakukan.
- Semua terapi berpusat pada klien. Ini berarti bahwa kepentingan klien menjadi pertimbangan utama. Ini tidak berarti bahwa metode aktif kontra-indikasi. Dalam banyak kasus, kebutuhan klien menunjukkan tindakan direktif.
- Memberi kesempatan kepada setiap klien untuk menyelesaikan masalahnya secara tidak langsung.
- Metode aktif biasanya ditunjukkan dalam situasi ketidakmampuan dimana solusi tidak dapat dicapai tanpa kerja sama dengan orang lain.
- Konseling eklektik cenderung mengutamakan klien yang aktif dan konselor yang pasif. Tetapi bila teknik pasif yang dilakukan konselor mengalami hambatan, maka konselor baru menggunakan teknik aktif.
G. Kecocokannya untuk Diterapkan di Indonesia
Teori konseling eklektik merupakan perpaduan dari berbagai unsur
yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan.
Konselor yang menggunakan pendekatan ini dapat melayani konseli sesuai
dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah-masalah yang
dihadapi. Dengan demikian, teori ini cocok untuk diterapkan di Indonesia
yang individu-individunya memiliki berbagai karakteristik. Hal ini
disebabkan Indonesia memiliki beragam budaya dan terdiri dari beragam
suku bangsa.
Teori konseling eklektik dibangun atas kebutuhan akan memaksimalkan
intelektual individu sebagai sumber daya untuk mengembangkan pemecahan
masalah. Penyesuaian yang salah diyakini sebagai hasil dari kegagalan
klien dalam belajar menggunakan sumber daya intelektual. Hal ini sejalan
dengan kebutuhan sumber daya manusia di Indonesia yang memiliki
intelektual yang cukup tinggi tetapi kurang mampu mengembangkannya
secara optimal.
Konseling eklektik bertujuan menggantikan tingkah laku yang terlalu
kompulsif dan emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional
dan lebih konstruktif. Teori ini cocok diterapkan di Indonesia dimana
sebagian besar penduduknya masih percaya pada hal-hal yang berhubungan
dengan mistis dan takhayul, sehingga kurang bisa berpikir rasional.
No comments:
Post a Comment